Dua orang advokat yang menggugat ketentuan komposisi pimpinan Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) memperbaiki permohonan pengujian Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (UU MD3). Dalam sidang kedua perkara yang teregistrasi dengan nomor 76/PUU-XIV/2016 pada Senin (10/10), Achmad Safaat menyampaikan telah memperbaiki legal standing yang digunakan untuk mengajukan permohonan.
Seperti diketahui, pada sidang pendahuluan, Majelis Hakim menyampaikan nasihat yang dapat digunakan untuk perbaikan permohonan. Salah satu nasihat disampaikan Hakim Konstitusi I Dewa Gede Palguna yang meminta Pemohon mempertegas legal standing yang digunakan.
Kala itu, Hakim Konstitusi Maria Farida Indrati juga menyampaikan hal yang sama. Menurut Maria, Pemohon perlu menjelaskan kerugian konstitusional agar tergambar legal standing yang digunakan oleh Pemohon.
Memerhatikan saran Majelis Hakim, Pemohon menyampaikan sudah memperbaiki poin mengenai legal standing tersebut. Achmad Safaat menjelaskan bahwa Pemohon sebagai warga negara yang memiliki hak untuk memilih anggota DPR sebagai wakil Pemohon di lembaga legislatif merasa dirugikan dengan berlakunya Pasal 121 ayat (2) UU MD3.
“Kemudian poin legal standing pada halaman 6, pada poin 7 dan 10 itu ada penambahan bahwa pada poin 7 bahwa Pemohon dalam rangka mendapatkan hak konstitusional dalam Pasal 28H ayat (1) UndangUndang Dasar Tahun 1945 tersebut telah memilih anggota DPR sebagai orang yang mewakili Pemohon atau wakil rakyat dalam pemenuhan hak-hak itu,” jelas Safaat.
Selain memperbaiki poin kedudukan hukum, Pemohon juga menguraikan lebih dalam terkait substansi permohonan. Seperti diketahui, para Pemohon mendalilkan bahwa pimpinan Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) harusnya berjumlah ganjil. Sementara pasal 121 ayat (2) menyebutkan jumlah genap (satu ketua dan tiga wakil ketua). Menurut Pemohon hal tersebut berpotensi menimbulkan deadlock dalam pengambilan keputusan secara voting. Lebih jauh para Pemohon menambahkan jika sampai proses pengambilan keputusan MKD mengalami deadlock, maka akan berakibat tidak berjalannya penegakan kode etik anggota DPR.
Padahal, imbuh Safaat, pelanggaran kode etik marak terjadi di DPR. Bila penyelesaian kasus kode etik terhambat, Pemohon khawatir DPR sulit bekerja maksimal untuk mewakili rakyat. “DPR akan sulit bekerja maksimal karena maraknya pelanggaran kode etik anggota DPR, dengan demikian hak Pemohon untuk memiliki wakil rakyat anggota DPR yang memiliki kehormatan dan martabat tidak terpenuhi,” tambah Safaat yang kemudian menyampaikan perubahan lainnya.
Usai mendengar pokok perbaikan yang disampaikan Pemohon, Palguna meminta Pemohon untuk langsung merenvoi beberapa kesalahan yang masih tercantum. Sebab, Pemohon menyerahkan perbaikan permohonan di hari terakhir batas penyerahan perbaikan permohonan.
“Sudah tidak ada waktu lagi perbaikannya. Jadi, sekarang saja direnvoi,” tegas Palguna sembari menyatakan akan membawa hasil sidang ke Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH) untuk dipelajari apakah perkara ini akan dilanjutkan atau dinyatakan sebaliknya. (Yusti Nurul Agustin/lul)