Memasuki sidang kesepuluh, Majelis Ulama Indonesia (MUI) menyampaikan keterangan selaku Pihak Terkait terhadap perkara pengujian “pasal zina” dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang dimohonkan oleh 12 orang Warga Negara Indonesia, Selasa (4/10). MUI memohon agar Mahkamah mempertimbangkan hukum Islam sebagai landasan untuk memperluas pengertian zina.
MUI, diwakili Mursyidah Thahir yang menjabat sebagai Anggota Komisi Fatwa MUI, menyatakan kemajemukan Indonesia dicerminkan oleh kondisi geografis, etnis, budaya, maupun agama. Namun dari sisi politis, Indonesia merupakan kesatuan yang saling melengkapi. Sejalan dengan itu, MUI memandang sebagai suatu kesatuan, hukum selaiknya tidak berdiri sendiri melainkan saling berkait, terutama berkaitan dengan persoalan Ketuhanan.
“Hal ini dinyatakan sendiri dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Tahun 1945 pada Alinea Ketiga yang menyatakan atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan seterusnya. Bahwa pandangan tersebut memiliki konsekuensi yuridis terhadap segala peraturan perundang-undangan yang harus mengacu dan bersumber pada nilai-nilai teologis, yakni nilai Ketuhanan Yang Maha Esa. Pandangan Majelis Ulama Indonesia seperti demikian itu sejalan dengan pendapat Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 140/PUU-VII/2009, Mahkamah menyatakan bahwa Pancasila telah menjadi dasar negara yang harus diterima oleh seluruh warga negara,” urai Mursyidah.
Terkait hal itu, MUI diwakili Mursyidah menyatakan “pasal zina”, “pasal perkosaan” dan “pasal pencabulan” dalam KUHP tidak sejalan dengan nilai Pancasila. Selain itu, MUI berpandangan bahwa hukum Islam mengatur kebebasan pribadi dalam melakukan hubungan seksual oleh suami-istri dalam ikatan perkawinan yang sah. Hukum Islam mengatur kebebasan seksual adalah untuk kepentingan pribadi dan sekaligus juga untuk kepentingan masyarakat. Sebab hubungan seksual di luar perkawinan yang sah dapat mengancam kehidupan masyarakat dan merendahkan martabat kemanusiaan.
Oleh karena itu, lanjut Mursyidah, larangan zina tidak semata mencegah timbulnya kekacauan garis keturunan anak atau nasab. Melainkan juga penyebaran penyakit yang disebabkan oleh kebiasaan seks bebas. “Larangan hubungan seksual tidak semata-mata antara laki-laki dan perempuan di luar perkawinan, melainkan juga hubungan seksual sesama jenis. Laki-laki dengan laki-laki, dan hubungan seks sesama perempuan atau sihak. Hubungan seks dengan binatang, dan hubungan seks dengan perkosaan,” tegas Mursyidah.
Terkait substansi Pasal 284 KUHP yang mengancam pidana penjara paling lama 9 bulan bagi pria yang telah menikah maupun istri yang berbuat zina, MUI menyatakan ketentuan tersebut sudah tidak relevan lagi dengan perkembangan zaman. Sebab, pasal tersebut hanya memidana pelaku zina yang sudah menikah. Padahal, lanjut Mursyidah, perbuatan zina merupakan perbuatan yang merusak sendi-sendi moralitas bangsa.
“Tidak adanya sanksi tindak pidana zina bagi pria dan wanita yang tidak berstatus nikah menunjukkan kelemahan atas norma hukum tersebut. Dikarenakan jenis dan indikator perbuatan sama tetapi sanksinya berbeda. Oleh karena itu, perlu adanya perluasan pengertian zina pada Pasal 284 KUHP agar sejalan dengan asas Ketuhanan Yang Maha Esa,” tutur Mursyidah.
Menurut MUI, definisi perzinaan harus dikembalikan pada pengertian dasar, yaitu senggama antara pria dan wanita di luar nikah. Senggama dimaksud dapat dilakukan orang yang terikat perkawinan, maupun yang belum terikat perkawinan. Pengertian ini didasarkan surat Al Anam ayat 151, surat An Nur ayat 2 dan 3, serta surat Al Isra. Oleh karena itu, MUI memohon agar Mahkamah mempertimbangkan hukum Islam sebagai landasan untuk memperluas pengertian zina dimaksud sesuai azas Ketuhanan Yang Maha Esa dalam Pancasila.
Bukan Kejahatan
Pada sidang yang dipimpin Wakil Ketua MK Anwar Usman, Komnas Perempuan selaku Pihak Terkait juga menghadirkan ahli. Salah seorang di antaranya adalah ahli kriminolog UI, yaitu Muhammad Mustofa.
Dalam keterangannya, Mustofa menerangkan bahwa dalam sudut pandang kriminologi zina atau perzinahan dikategorikan sebagai perilaku menyimpang. Namun perzinahan tidak dikategorikan sebagai kejahatan.
Yang menjadi persoalan, lanjut Mustofa, Indonesia terdiri dari suku bangsa dan agama yang majemuk. Sehingga, tidak terdapat persepsi yang sama mengenai perbuatan zina dimaksud. Oleh karena itu, Mustofa berpandangan menjadi tidak relevan untuk membuat aturan atau reaksi formal yang tunggal terhadap zina.
“Penghukuman yang keras bukan cara efektif dalam mengatasi masalah kejahatan dan kemaksiatan. Sosialisasi nilai dan norma serta fasilitasi agar setiap warga dapat bertingkah laku selaras dengan nilai dan norma merupakan upaya pencegahan yang lebih efektif dibandingkan menindak setelah peristiwanya terjadi,” tutup Mustofa. (Yusti Nurul Agustin/lul)