Istilah “sumber daya energi baru” dan “sumber daya energi terbarukan” dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2007 tentang Energi (UU Energi) diajukan untuk diuji secara materiil ke Mahkamah Konstitusi (MK). Adalah dosen Universitas Bung Karno Indrawan Sastronagoro yang tercatat sebagai Pemohon perkara Nomor 84/PUU-XIV/2016 tersebut.
Pemohon yang hadir tanpa diwakili kuasa hukum menjelaskan hak konstitusionalnya terlanggar dengan berlakunya Pasal 1 angka 4, angka 5, angka 6; Pasal 4 angka 2; Pasal 20 angka 4, angka 5; Pasal 21 angka 2, angka 3; Pasal 29 angka 2 serta Pasal 30 angka 3 UU Energi. Menurut Pemohon, penggunaan istilah “sumber daya energi baru” dan “sumber daya energi terbarukan” bertentangan dengan UUD 1945 terutama Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1) dan ayat (2), serta Pasal 29 ayat (1). Pemohon merasa prihatin, kecewa, dan tersinggung dengan penggunaan istilah tersebut yang dianggap merupakan syirik karena telah menyetarakan kedudukan dengan Tuhan YME.
“Yang menggunakan teknologi baru adalah manusia, bukan hewan. Berarti manusia dengan teknologi baru dapat menghasilkan sumber energi baru. Jadi sama pintar dengan Tuhan Yang Maha Esa. Sudah pasti hal ini adalah syirik (menyekutukan Tuhan YME, red). Energi merupakan bagian dari alam, hanya Tuhan Yang Maha Esa, Allah Subhanahu Wa Ta’ala yang dapat menciptakan maupun memusnahkan. Dan secara pasti bertentangan dengan Pasal 29 ayat (1) Undang Undang Dasar 1945,” jelasnya di hadapan Majelis Hakim yang dipimpin oleh Hakim Konstitusi Patrialis Akbar tersebut.
Pemohon merasa dirugikan dari segi iman dan keyakinan karena pengunaan kedua istilah tersebut dalam pasal-pasal yang diujikan telah mengecilkan dan mendiskreditkan keagungan Tuhan Yang Maha Esa. Pemohon menilai istilah tersebut melecehkan agama Pemohon. Untuk itu, Pemohon meminta agar Majelis Hakim mengabulkan seluruh permohonan pengujian Undang-Undang yang diajukan pemohon. “Menyatakan bahwa Pasal 1: angka 4, angka 5, angka 6 Pasal 4 angka 2, Pasal 20 ; angka 4 angka 5, Pasal 21: angka 2, angka 3, Pasal 29 : angka 2, Pasal 30 : angka 3, Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2007 tentang Energi bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indoneisa Tahun 1945,” paparnya.
Nasihat Hakim
Menanggapi hal tersebut, Majelis Hakim yang juga terdiri dari Hakim Konstitusi Aswanto dan Wahiduddin Adams memberikan saran perbaikan kepada Pemohon. Wahiduddin meminta pemohon memaparkan kerugian konstitusional yang dialaminya dengan mendetail. Menurutnya, Pemohon tidak menjelaskan kerugian apa yang dialaminya. Pemohon hanya memaparkan kekhawatiran dan keprihatinannya dengan pemberlakuan pasal-pasal tersebut. “Bapak menjelaskan hak konstitusional yang dijamin dalam konstitusi yang mana terlanggar dengan pasal yang diuji?” tanyanya.
Sementara Aswanto meminta agar pemohon mengganti batu uji permohonannya. Ia menilai salah satu batu uji Pemohon, yakni Pasal 29 ayat (1) UUD 1945 tidak sesuai. Untuk itu, Pemohon diminta memperbaiki argumentasi permohonan agar terlihat keterkaitan antara pasal yang diuji dengan batu uji.
Pemohon diberikan waktu selama 14 hari kerja untuk melakukan perbaikan. Sidang berikutnya akan digelar dengan agenda memeriksa perbaikan permohonan. (Lulu Anjarsari/lul)