Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang perdana uji materiil Pasal 2, 5, 6, dan 44 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU KDRT), Selasa (4/10). Perkara No 82/PUU-XIV/2016 digelar di Ruang Sidang Pleno dengan agenda pemeriksaan pendahuluan.
Pemohon adalah Nuih Herpiandi berlatar belakang advokat. Dirinya merasa dirugikan dengan berlakunya pasal-pasal tersebut lantaran dinilai bertentangan dengan Pasal 28G ayat (1) dan Pasal 31 ayat (1) UUD 1945. Menurut Pemohon, tidak ada kejelasan mengenai batasan rasa sakit di bagian organ tubuh dalam UU KDRT. Selain itu, tidak terdapat kejelasan mengenai batasan jatuh sakit.
Pemohon juga menilai dalam UU KDRT tidak terdapat kejelasan terhadap tindakan seperti menjewer dan memukul di bagian aman bagi anak yang sebenarnya bermaksud mendidik, bukan menyakiti. Terlebih, menurut Pemohon, anak bukan bagian dari UU KDRT karena undang-undang tersebut hanya diperuntukkan untuk perselisihan antar suami-isteri dan juga pembantu rumah tangga.
“Jadi kalau menurut hemat Pemohon, itu KDRT sebetulnya itu khusus untuk suami ke istri atau sebaliknya istri ke suami. Jadi, anak enggak dibawa-bawa karena anak sudah ada UU Perlindungan anak,” jelasnya di hadapan Majelis Hakim yang dipimpin Hakim Konstitusi Maria Farida Indrati.
Nasihat Hakim
Menanggapi permohonan Pemohon, Hakim Konstitusi I Dewa Gede Palguna menyebut permohonan Pemohon dapat di niet ontvankelijke verklaard (NO)-kan. Sebab, menurutnya, legal standing Pemohon masih belum jelas.
“Kalau kedudukan hukumnya masih kabur, kami tidak akan memeriksa pokok permohonannya, Ujungnya putusannya adalah NO atau tidak dapat diterima,” katanya menegaskan.
Senada, Hakim Konstitusi Suhartoyo juga mengkritisi legal standingPemohon. Ia mengibaratkan legal standing layaknya gembok yang mesti dibuka terlebih dahulu dengan kunci kerugian konstitusionalitas. “ Kerugiannya itu apa. Bentuk diskriminasinya seperti apa,” ujarnya mempertanyakan.
Lainnya, Suhartoyo berkomentar format permohonan yang dibuat Pemohon masih jauh dari sempurna. Ia menyarankan Pemohon memperbaiki permohonannya dengan format baku permohonan di MK yang dapat dilihat di website MK atau dapat bertanya langsung ke bagian Kepaniteraan.
Majelis Hakim memberi waktu 14 hari untuk melakukan perbaikan permohonan. Perbaikan permohonan Pemohon ditunggu hingga Senin Tanggal 17 Oktober 2016 pukul 10 pagi.
(ars/lul)