Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang perbaikan permohonan uji materiil Pasal 6 huruf c dan Pasal 11 huruf a Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (UU KPK), Selasa (4/10) di Ruang Sidang Panel. Perbaikan yang dilakukan antara lain mengubah struktur pendahuluan dan menambahkan kewenangan MK.
Pemohon Tonon Tachta Singarimbun yang berprofesi sebagai advokat menjelaskan struktur pendahuluan yang diperbaiki. “Penjelasannya bahwa Pemohon adalah Prinsipal pada permohonan uji materiil judicial review sebagai WNI dan berprofesi sebagai Advokat. Saya secara nyata telah mengalami kerugian konstitusi akibat adanya UU No 30 Tahun 2002 tentang KPK,” ujarnya dalam sidang perkara Nomor 70/PUU-XIV/2016 yang dipimpin Hakim Konstitusi Maria Farida Indrati.
Selanjutnya, dalam kewenangan MK, Pemohon menambah penjelasan Pasal 9 ayat (1) UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Penambahan tersebut sesuai dengan saran Majelis Hakim pada persidangan sebelumnya.
Sebelumnya, Pemohon menguji konstitusionalitas frasa “penegak hukum” dalam pasal 11 huruf a UU KPK. Pemohon mengujikan Pasal 11 huruf a yang berbunyi: “Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf c, Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi yang: (a) melibatkan aparat penegak hukum, penyelenggara negara, dan orang lain yang ada kaitannya dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh aparat penegak hukum atau penyelenggara negara”.
Pemohon mengaitkan permohonannya dengan perkara pra-peradilan Nomor 012/PraPid/2016/PN.JKT.PST. Dalam perkara tersebut, Pemohon menjelaskan KPK telah salah memaknai advokat sebagai aparat penegak hukum sebagaimana tercantum dalam Pasal 11 huruf a UU KPK. Pemohon merasa hak konstitusionalnya terlanggar karena KPK memaknai advokat sebagai penegak hukum.
Selain itu, Pemohon juga mendalilkan kata “aparat” dalam pasal a quo. Kata tersebut, menurutnya, identik dengan profesi yang diberikan negara/pemerintah dan harus memiliki kewenangan yang biasa digunakan dalam lapangan penegakan hokum, seperti polisi, kejaksaan, KPK, Kehakiman dan lain-lain. Lebih lanjut, menurut Pemohon, dalam frasa “aparat penegak hukum”, setidaknya mengandung pendanaan/pembiayaan yang berasal dari APBN.
“Sedangkan advokat adalah profesi yang disahkan negara berdasarkan undang-undang dan pendiriannya tidak termasuk kriteria lembaga negara/pemerintah. Selain itu, advokat tidak memiliki kewenangan dan kekuasaan dalam penyelidikan, penyidikan dan penuntutan karena hanya menjalankan profesi sebagaimana dengan jelas pada UU tentang Advokat, sehingga advokat seharusnya tidak dianggap sebagai aparat,” paparnya.
Oleh karena itu, Pemohon berharap agar Mahkamah menyatakan frasa “aparat penegak hukum” pada norma Pasal 11 huruf a UU KPK bertentangan dengan UUD 1945 secara bersyarat (conditionally unconstitutional) dan tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat sepanjang dimaknai “advokat dan/atau pemberi jasa hukum”.
(ars/lul)