Sowanwitno Lumadjeng dan T Yosef Subagio selaku pengurus pusat Asosiasi Karoseri Indonesia (ASKARINDO) menguji materiil ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1997 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak (UU PNBP) yang mengakibatkan pemberlakuan tiga undang-undang terhadap jenis usaha karoseri. Sidang perdana perkara No. 79/PUU-XIV/2016 itu digelar pada Senin (3/10) di Ruang Sidang Pleno Mahkamah Konstitusi (MK).
Habel Rumbiak selaku kuasa hukum Pemohon menyampaikan pokok-pokok permohonan di hadapan Majelis Hakim yang dipimpin Hakim Konstitusi Patrialis Akbar. Dalam penjelasannya, Rumbiak menyampaikan para Pemohon menggugat Pasal 2 ayat (2) dan ayat (3), serta Pasal 3 ayat (2) UU PNBP. Pasal-pasal tersebut menyatakan penerimaan negara bukan pajak ditetapkan dengan undang-undang dan peraturan pemerintah. Lebih detail, pasal-pasal tersebut berbunyi sebagai berikut.
Pasal 2
(2) Kecuali jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang ditetapkan dengan Undang-Undang, jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang tercakup dalam kelompok sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah
(3) Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang belum tercakup dalam kelompok Penerimaan Negara Bukan Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah
Pasal 3
(2) Tarif atas jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dalam Undang-Undang atau Peraturan Pemerintah yang menetapkan jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang bersangkutan
Ketentuan tersebut, menurut paparan Rumbiak, menyebabkan banyaknya pungutan yang harus dibayar para pengusaha karoseri. Pungutan tersebut diatur dalam UU PNBP, UU Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, hingga UU Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (UU LLAJ).
“Para pengusaha Karoseri ini mengalami permasalahan di bidang pungutan-pungutan yang bukan pajak karena kepada mereka diperlakukan tiga undang-undang sekaligus, Undang-Undang Lalu Lintas, kemudian Undang-Undang Pemerntahan Daerah, yang mereka tempuh pula dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, dan kemudian juga mereka terkena juga dengan aturan dalam Pasal 2 ayat (2) yang dimohonkan pengujian materiil kali ini berkenaan dengan penerimaan negara bukan pajak khususnya di lingkungan Departemen Perhubungan,” jelasnya.
Rumbiak menambahkan, ketentuan-ketentuan yang diuji tersebut inkonstitusional. Sebab, Pasal 2 ayat (2) dan ayat (3), serta Pasal 3 ayat (2) UU PNBP mengamanatkan adanya pungutan lain yang bersifat memaksa diatur lewat peraturan pemerintah. Padahal, Pasal 23A UUD 1945 menyatakan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara harus diatur lewat undang-undang.
Untuk memperkuat argumentasi permohonan Pemohon, Rumbiak mengungkapkan UU Pemerintahan Daerah menyatakan bahwa Pemda dapat memungut pajak dan retribusi asalkan ditetapkan dengan undang-undang. Namun, Rumbiak menegaskan, UU PNBP tidak mengamanatkan hal yang sama.
“Ini tidak konstitusional dan bertentangan dengan Pasal 23A Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia, juga bertentangan dengan Pasal 28D ayat (2) bahwa ketentuan yang banyak tersebut tidak memberikan kepastian hukum dan juga tidak memberikan perlindungan kepada Para Pemohon. Oleh karena itu, mohon kepada Majelis Hakim Yang Mulia, untuk dalam petitum mengabulkan permohonan kami. Menyatakan bahwa ketentuan dalam Pasal 2 ayat (2) dan Pasal 3 ayat (2) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1997 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar,” pintanya.
Saran Hakim
Usai mendengar penjelasan Pemohon, Majelis Hakim menyampaikan saran untuk memperbaiki permohonan Pemohon. Salah satu saran disampaikan oleh Hakim Konstitusi Patrialis Akbar yang memimpin jalannya sidang.
Dari paparan yang disampaikan Rumbiak maupun dari permohonan Pemohon yang telah dipelajari, Patrialis mempertanyakan substansi permohonan. Sebab, Patrialis melihat ada lebih dari satu undang-undang yang digugat Pemohon. Namun, dalam petitum permohonan, hanya norma dalam UU PNBP saja yang minta dibatalkan.
“Kalau tiga-tiganya yang dinyatakan merugikan, terus kenapa di petitum-nya hanya satu?” tanya Patrialis yang didampingi Hakim Konstitusi Manahan Sitompul dan Aswanto.
Hal yang sama disampaikan Manahan. Ia mengingatkan agar Pemohon menguraikan lebih jelas lagi perbandingan ketiga undang-undang yang dinilai bermasalah. Selain itu, Pemohon perlu pula menyusun petitum permohonan lebih jelas lagi agar dapat dipahami apa yang sebenarnya menjadi keinginan Pemohon.
Masih belum jelasnya permohonan Pemohon juga disampaikan Aswanto. Ia mengatakan sepintas ditangkap ada tiga undang-undang yang merugikan Pemohon. Namun, Aswanto melihat Pemohon belum menguraikan secara komprehensif kerugian konstitusional yang dialami.
Sebelum menutup sidang, Patrialis menyampaikan Pemohon diberi waktu 14 hari untuk memperbaiki permohonan. Paling lambat, Pemohon menyerahkan perbaikan permohonan ke kepaniteraan MK pada 17 Oktober 2016, pukul 10.00 WIB. (Yusti Nurul Agustin/lul)