Mahkamah Konstitusi (MK) menolak seluruhnya pengujian Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan (UU Kepabeanan). Putusan perkara teregistrasi Nomor 113/PUU-XIII/2015 tersebut digelar pada Kamis (29/9) di Ruang Sidang Pleno MK.
“Menyatakan menolak permohonan Pemohon,” ujar Wakil Ketua MK Anwar Usman mengucapkan putusan permohonan yang diajukan Kepala Seksi Kepabeanan dan Cukai Kantor Pengawasan dan Pelayanan Bea dan Cukai (KPPBC) Entikong Iwan Jaya.
Dalam pertimbangan hukumnya, Mahkamah menilai pos pengawasan pabean bukan tempat untuk melaksanakan pemenuhan kewajiban pabean, melainkan sebagai tempat untuk mengawasinya. Kecuali jika pos pengawasan pabean tersebut secara hukum telah disamakan dengan kantor pabean.
Mengaitkan dengan Penjelasan Pasal 5 ayat (3) UU Kepabeanan, Mahkamah justru menemukan penjelasan tersebut semakin menguatkan maksud norma Pasal 5 ayat (3) juncto ayat (1) UU Kepabeanan, yaitu pada pos pengawasan pabean tidak dapat dipenuhi kewajiban pabean. “Mahkamah tidak menemukan adanya ketidakjelasan makna pada bagian penjelasan jika bagian penjelasan dimaksud dibaca setelah membaca Pasal 5 secara keseluruhan,” jelasnya.
Kemudian, Pemohon mendalilkan telah mengalami perlakuan berbeda, yaitu dianggap melakukan tindakan/perbuatan pidana karena telah melaksanakan pelayanan pemenuhan kewajiban pabean di Pos Pemeriksaan Lintas Batas (PPLB) Entikong, Kabupaten Sanggau, Provinsi Kalimantan Barat. Sementara menurut Pemohon, praktik yang sama telah dilakukan sejak lama oleh para pejabat pendahulu dengan landasan berbagai peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang. Praktik tersebut sebelumnya tidak pernah dipermasalahkan oleh penegak hukum. Mahkamah berpendapat hal tersebut bukan merupakan permasalahan konstitusionalitas norma undang-undang, melainkan permasalahan implementasi atau penerapan norma suatu undang-undang. Oleh karena itu, Mahkamah tidak berwenang untuk mengadilinya.
Ketentuan-ketentuan dalam UUD 1945 yang diajukan Pemohon sebagai dasar pengujian, menurut Mahkamah, tidak tepat dipergunakan untuk menilai konstitusionalitas Penjelasan Pasal 5 ayat (3) dan ayat (4) UU Kepabeanan. Penjelasan Pasal 5 UU 17/2006 yang dipermasalahkan Pemohon terbatas mengenai keberadaan pos pengawasan pabean atau tempat lain yang dapat dipergunakan untuk memenuhi kewajiban pabean. Hal demikian, menurut Mahkamah, jelas tidak memiliki korelasi dengan hak konstitusional Pemohon untuk bekerja, karena kedudukan Pemohon sebagai PNS di Direktorat Jenderal Bea dan Cukai telah membuktikan bahwa Pemohon tidak terhambat untuk memiliki pekerjaan.
“Berdasarkan seluruh pertimbangan hukum di atas, Mahkamah menilai dalil Pemohon mengenai pertentangan antara Penjelasan Pasal 5 ayat (3) dan ayat (4) UU 17/2006 dengan Pasal 23 ayat (1), Pasal 23A, dan Pasal 28D ayat (2) UUD 1945 tidak beralasan menurut hukum,” tandasnya.
Sebelumnya, Pemohon mengajukan permohonan pengujian tentang ketentuan pengawasan pabean dalam UU Kepabeanan. Pemohon mendalilkan hak konstitusionalnya terlanggar dengan berlakunya Pasal 5 ayat (4) UU Kepabeanan. Pasal 5 ayat (4) UU Kepabeanan menyatakan “Penetapan kawasan pabean, kantor pabean, dan pos pengawasan pabean dilakukan oleh Menteri”. Ketentuan a quo, menurut Pemohon, merugikannya karena bersifat multitafsir.
Pemohon merupakan tersangka tindak pidana korupsi karena telah memperbolehkan para importir untuk melakukan kegiatan impor, yaitu memasukkan barang dari Malaysia ke Indonesia dengan menggunakan PIB (Pemberitahuan Impor Barang), invoice dan packing list seolah-olah PPLB Entikong merupakan kawasan pabean. Menurut Pemohon, terdapat perbedaan penafsiran terhadap ketentuan a quo.
Perbedaan tersebut, antara lain adanya pihak yang menyatakan bahwa di PPLB Entikong tidak bisa dilakukan kegiatan impor dengan menggunakan PIB karena PPLB Entikong belum ditetapkan sebagai kawasan pabean oleh Menteri Keuangan. Sedangkan, di pihak yang lain (DJBC Kementerian Keuangan, Direktorat Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan, dan Kementerian Dalam Negeri), menyatakan yang sebaliknya. Menurut pihak lain, di PPLB Entikong bisa dilakukan kegiatan impor dengan menggunakan PIB meskipun PPLB Entikong belum ditetapkan sebagai kawasan pabean oleh Menteri Keuangan. Sebab, sah atau tidaknya pemenuhan kewajiban pabean tidak tergantung adanya kawasan pabean.
Untuk itu, Pemohon meminta agar Majelis Hakim menyatakan Pasal 5 ayat (3) UU Kepabeanan bertentangan dengan Pasal 23 ayat (1), Pasal 23A, dan Pasal 28D ayat (2) Undang-Undang Dasar Tahun 1945 sepanjang tidak ditafsirkan untuk keperluan pelayanan pengawasan kelancaran lalu lintas barang dan ketertiban bongkar muat barang serta pengamanan keuangan negara. (Lulu Anjarsari/lul)