Tiga orang pengiat sosial kenamaan, Imam B. Prasodjo, Andy F. Noya, dan Rulany Sigar memperbaiki gugatan terhadap ketentuan yang mengatur pemusnahan barang bukti kayu hasil pembalakan liar dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan (UU P3H). Todung Mulya Lubis dan Maheswara Prabandono selaku kuasa hukum para Pemohon menyampaikan pokok-pokok perbaikan permohonan pada sidang kedua perkara No. 69/PUU-XIV/2016 yang digelar Rabu (28/9) di Ruang Sidang Pleno Mahkamah Konstitusi (MK).
Di hadapan Wakil Ketua MK Anwar Usman yang memimpin jalannya sidang, Maheswara menyampaikan sudah mempebaiki permohonan sesuai saran yang disampaikan Majelis Hakim pada sidang pendahuluan. Selain itu, Maheswara juga menyampaikan tidak ada perbaikan substansial dalam permohonan.
Todung menambahkan bahwa para Pemohon, dalam permohonannya, telah mengelaborasi permohonan lebih detail. Misalnya dengan menambahkan tabel pembuktian mengenai jumlah kayu yang dimusnahkan. “Jadi tabel itu hanya ingin memberikan penguatan terhadap apa yang disebut kerugian konstitusional atau constitusional lost yang diderita oleh Pemohon,” terangnya.
Pada kesempatan yang sama, Imam juga menambahkan kasus konkret akibat implementasi ketentuan pemusnahan barang bukti kayu hasil pembalakan liar. Ia pun mengaku telah bertemu Direktur Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Eksosistem (Dirjen KSDAE) membahas masalah tersebut. Menurut penuturan Imam, Dirjen KSDAE justru mengatakan negara memiliki biaya yang terbatas untuk menmusnakan kayu hasil pembalakan liar.
“Tetapi pada saat yang sama, kenapa masih harus dihancurkan? Karena itu bisa dimanfaatkan. Tentu kita nanti harus mengawal, Pak. Kalau seandainya diizinkan agar pasal ini dibuka, tidak terus kemudian dijadikan sebagai alat oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab justru untuk keperluan pribadi,” tutur Imam berusaha meyakinkan hakim.
Pada sidang tersebut, Anwar juga mengesahkan 4 bukti tertulis sementara yang diajukan oleh para Pemohon. Anwar pun menyampaikan akan melaporkan hasil sidang ke Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH).
“Bagaimana kelanjutan dari perkara ini, apakah akan diteruskan ke sidang Pleno atau mungkin menurut hasil RPH nanti bahwa sidangnya cukup sampai di sini, langsung mengambil keputusan, nanti tinggal menunggu pemberitahuan dari Kepaniteraan,” tegas Anwar yang didampingi Hakim Konstitusi Patrialis Akbar dan Suhartoyo.
Pemanfaat Kayu Sitaan
Pada sidang pendahuluan, Munafrizal Manan selaku salah satu kuasa hukum Pemohon menyampaikan kedudukan hukum (legal standing) yang dipakai para Pemohon untuk menggugat ketentuan a quo. Ketiga Pemohon, menurut Manan, telah banyak dikenal oleh masyarakat sebagai pengiat sosial maupun pemberdaya masyarakat di bidangnya masing-masing. Aktivitas sosial maupun pemberdayaan masyarakat tersebut dianggap telah terhalang oleh ketentuan Pasal 44 ayat (1) UU P3H.
“Kerugian konstitusional para Pemohon ini juga terafirmasi ketika Pemohon I (Imam B Prasodjo) sempat mengirimkan surat kepada Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan c.q. Direktorat Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem yang pada intinya mengajukan permohonan untuk memanfaatkan kayu di BKSDA Jawa Tengah agar kayu hasil pembalakan dan hutan konservasi yang tidak digunakan atau terbengkalai bisa dioptimalkan untuk pemanfaatan kepentingan sosial,” ujar Manan sembari mengatakan surat tersebut dibalas dengan penolakan yang disebabkan adanya ketentuan dalam Pasal 44 ayat (1) UU P3H.
Akibatnya, lanjut Manan, kayu tersebut tidak dapat dimanfaatkan untuk kepentingan sosial dan pendidikan. Pada posisi itulah, Pemohon I merasa hak konstitusionalnya sebagai warga negara yang diatur dalam Pasal 28C ayat (2) UUD 1945 telah dirugikan.
Sementara terkait pokok permohonan, Manan menguraikan bahwa para Pemohon berkeberatan dengan ketentuan pemusnahan barang bukti kayu hasil pembalakan liar maupun hasil penggunaan kawasan hutan secara ilegal yang berasal dari hutan konservasi. Para Pemohon menganggap pengecualian pemusnahan barang bukti kayu yang hanya untuk kepentingan pembuktian dan penelitian, tidak mencerminkan keberadaan negara dalam melindungi warga negaranya guna memenuhi hak konstitusional para Pemohon.
“Adanya ketentuan tersebut menyebabkan Pemohon tidak mendapatkan izin pemanfaatan kayu temuan dan sitaan untuk pembangunan fasilitas sosial dan pendidikan yang bersifat mendesak karena terjadinya bencana alam. Padahal di Indonesia ini banyak sekali terjadi bencana alam, baik tanah longsor, gempa bumi, banjir bandang, dan tsunami yang merusak infrastruktur, fasilitas sosial pendidikan tersebut,” ungkap Manan.
Selain itu, Manan memaparkan bahwa para Pemohon beranggapan ketentuan pemusnahan tersebut juga bertentangan dengan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 yang mengatur bahwa SDA harus dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Sebagai sumber kekayaan negara, barang bukti kayu hasil pembalakan seharusnya dapat digunakan untuk penyediaan fasilitas sosial dan pendidikan.
Oleh karena itu, para Pemohon meminta Mahkamah memberikan penafsiran konstitusional atas pasal a quo. Penafsiran yang diminta para Pemohon, yaitu agar pemanfaatan barang bukti hasil pembalakan liar yang berasal dari hutan konservasi tidak hanya bisa digunakan untuk keperluan pembuktian perkara dan penelitian saja, tapi bisa digunakan untuk pembangunan fasilitas sosial pendidikan yang rusak hancur akibat bencana alam. (Yusti Nurul Agustin/lul)