CSSUI Perbaiki Uji Aturan Batas Masa Jabatan Hakim Konstitusi
Kamis, 29 September 2016
| 08:47 WIB
Pemohon Prinsipal hadir dalam sidang perbaikan permohonan uji materi UU Mahkamah Konstitusi, Rabu (28/9) di Ruang Sidang Pleno Gedung MK. Foto Humas/Ifa.
Center for Strategic Studies University of Indonesia (CSSUI) atau Pusat Kajian Masalah Strategis Universitas Indonesia memperbaiki permohonan uji materiil Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Mahkamah Konstitusi (UU MK). Sidang kedua perkara Nomor 73/PUU-XIV/2016 tersebut digelar Rabu (28/9) di Ruang Sidang MK.
Tjip Ismail selaku Pemohon menjelaskan telah memperbaiki permohonan dengan menambahkan pasal yang diujikan, yakni Pasal 4 ayat (3) UU MK yang mengatur masa jabatan bagi ketua dan wakil ketua MK. Pasal 4 ayat (3) UU MK menyebut “Ketua dan Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi dipilih dari dan oleh anggota hakim konstitusi untukmasa jabatan selama 2 (dua) tahun 6 (enam) bulan terhitung sejak tanggal pengangkatan Ketua dan Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi”.
“Selain menguji Pasal 22 mengenai jabatan hakim konstitusi, kami menambahkan Pasal 4 ayat (3) berkaitan dengan masa jabatan Ketua dan Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi,” ujarnya di hadapan Majelis Hakim yang dipimpin oleh Wakil Ketua MK Anwar Usman tersebut.
Dalam sidang pendahuluan, Pemohon mendalilkan hak konstitusionalnya terlanggar dengan berlakunya ketentuan Pasal 22 UU MK yang menyatakan “Masa jabatan hakim konstitusi selama 5 (lima) tahun dan dapat dipilih kembali hanya untuk 1(satu) kali masa jabatan berikutnya”. Pemohon yang diwakili oleh Dian Puji N. Simatupang menilai ketentuan yang mengatur masa jabatan hakim konstitusi bersifat diskriminatif, karena kedudukan hakim dalam peradilan manapun tidak pernah mengenal masa jabatan dan periodisasi jabatan.
Selain itu, Pemohon membandingkan dengan ketentuan dalam UU Mahkamah Agung yang menyatakan hakim MA akan diberhentikan dengan hormat ketika memasuki usia pensiun. Karena itu, Pemohon menilai Pasal 22 UU MK merupakan produk politik hukum yang membatasi atau setidaknya berpotensi membatasi MK untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Untuk itu, dalam permohonannya, Pemohon meminta agar Pasal 22 UU MK tersebut dinyatakan bertentangan dengan konstitusi. (Lulu Anjarsari/lul)