Rusli Habibie, Gubernur Gorontalo yang juga terpidana kasasi kasus penghinaan menyampaikan perbaikan gugatan terhadap ketentuan syarat pencalonan kepala daerah. Heru Widodo selaku kuasa hukum Pemohon menyampaikan telah menambah poin kedudukan hukum dan objek permohonan dalam perkara No. 71/PUU-XIV/2016. Hal tersebut disampaikan di hadapan Majelis Hakim yang dipimpin Hakim Konstitusi I Dewa Gede Palguna, Rabu (28/9).
Bertempat di Ruang Sidang Panel Lantai 4 Gedung Mahkamah Konstitusi (MK), Heru Widodo menjelaskan bahwa sejalan dengan terbitnya Peraturan KPU Nomor 9 Tahun 2016, Pemohon menambahkan poin kedudukan hukum dalam perbaikan permohonannya.
Peraturan KPU tentang Pencalonan Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, dan/atau Walikota dan Wakil Walikota tertanggal 13 September 2016 tersebut menetapkan aturan tentang syarat pencalonan yang berkaitan dengan Pasal 7 ayat (2) huruf g UU Pilkada yang digugat Pemohon. Dengan berlakunya PKPU tersebut, Heru mengungkapkan Pemohon dapat mendaftarkan diri menjadi calon kepala daerah. Sebab, status hukum Pemohon sebagai terpidana yang tidak menjalani pidana penjara telah memenuhi kriteria persyaratan.
Meski begitu, Heru merasa persoalan yang membelit Pemohon tidak otomatis selesai. Sebab, Heru berkeyakinan kliennya akan dapat diberhentikan begitu saja jabatannya ketika telah memenangi Pilkada Provinsi Gorontalo.
“Meskipun Pemohon bisa mencalonkan diri, namun dalam hal Pemohon memenangkan pemilihan dan menjadi pasangan calon terpilih, maka Pemohon sudah dihadang oleh ketidakpastian hukum oleh karena dengan menyandang status sebagai terpidana atas putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap. Kemenangan Pemohon yang diraih dengan susah payah langsung dirampas oleh ketentuan Pasal 164 ayat (7) dan ayat (8) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016, yakni langsung diberhentikan sesaat sesudah dilantik menjadi pasangan gubernur dan wakil gubernur terpilih,” papar Heru khawatir.
Selain itu, Pemohon, juga menambahkan objek permohonan, yaitu Pasal 163 ayat (7) dan ayat (8), serta Pasal 164 ayat (7) dan ayat (8) UU Pilkada.
Dalam kesempatan yang sama, Palguna mengesahkan 7 bukti yang diajukan oleh Pemohon, yaitu P-1 sampai dengan P-7. Sebelum menutup sidang, Palguna juga menyampaikan akan membawa hasil persidangan ke Rapat Permusyawaratan Hakim.
“Baik, kalau demikian nanti sebagaimana biasa hasil persidangan ini kami laporkan terlebih dahulu kepada Pleno Rapat Permusyawaratan Hakim dan berita selanjutnya tentu Saudara tinggal menunggu dari Kepaniteraan, apakah perkara ini akan diteruskan sampai ke sidang pleno ataukah bagaimana nanti tinggal menunggu beritanya dari panitera,” tutup Palguna.
Terancam Gagal
Sebelumnya, Heru dalam sidang pendahuluan menyampaikan Pemohon merasa terancam gagal mencalonkan diri dalam Pilkada Provinsi Gorontalo tahun 2017. Sebab, Pemohon saat ini berstatus terpidana. Kronologisnya, awal bulan Agustus 2016 Pemohon mendapat putusan kasasi dengan pidana 1 (satu) tahun penjara dengan masa percobaan 2 (dua) tahun atas tuduhan melakukan penghinaan dan melanggar Pasal 317 ayat (1) KUHP. Dengan status barunya tersebut, Pemohon mempersoalkan Pasal 7 ayat (2) huruf g UU Pilkada yang mengatur larangan terpidana untuk mencalonkan diri sebagai kepala daerah.
Dalam permohonannya, Pemohon menilai ketentuan a quo telah melanggar hak konstitusional Pemohon karena ketentuan a quo menghalangi Pemohon untuk maju kembali dalam pemilihan kepala daerah. Lebih detail, Pemohon merasa keberatan dengan frasa “karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan penjara 5 (lima) tahun atau lebih” dalam pasal tersebut.
Ketentuan tersebut, menurut Pemohon, sangat merugikan. Semula, Pasal 7 huruf g UU No. 8 Tahun 2015 yang sudah dihapus hanya menyatakan perbuatan pidana yang diancam 5 tahun penjara saja. Namun, dalam Pasal 7 ayat (2) huruf g UU 10 Tahun 2016 cakupan tersebut diperluas dengan seluruh tindak pidana termasuk tindak pidana yang diancam percobaan penjara semata.
Heru Widodo selaku kuasa hukum Pemohon menjelaskan bahwa pemberlakuan ketentuan yang berbeda dari Pilkada serentak 2015 ke Pilkada Serentak Tahun 2017 tersebut telah melanggar hak persamaan di dalam hukum dan pemerintahan sebagaimana dijamin dalam UUD 1945. Berdasarkan alasan tersebut Pemohon meminta Mahkamah untuk menyatakan ketentuan a quo inkonstitusional. (Yusti Nurul Agustin/lul)