Keberadaan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak (UU Pengampunan Pajak atau tax amnesty) melegalkan kejahatan. Hal tersebut disampaikan Pengamat Ekonomi Politik Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI) Salamuddin Daeng pada sidang keempat untuk empat perkara terkait pengujian UU Pengampunan Pajak yang digelar Mahkamah Konstitusi (MK), Rabu (28/9) di Ruang Sidang MK. Empat perkara tersebut teregistrasi dengan Nomor 57/PUU-XIV/2016, 58/PUU-XIV/2016, 59/PUU-XIV/2016 dan 63/PUU-XIV/2016.
Daeng yang hadir sebagai ahli Pemohon Nomor 63/PUU-XIV/2016, menyebut alasan Pemerintah yang mengatakan keberadaan UU Pengampunan Pajak untuk meningkatkan pemasukan APBN tidak masuk akal. Pemerintah pun tidak tanggung-tanggung menetapkan target penerimaan tax amnesty yang sangat spektakuler, yakni sebesar Rp165 triliun.
Lebih lanjut, Daeng mengutip perkataan Mantan Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro yang memperkirakan dana yang masuk berasal dari akumulasi atau perhitungan harta kekayaan pengusaha-pengusaha kaya Indonesia yang memarkir uangnya di luar negeri sejak 1970. Dengan demikian, secara garis besar ada 3 sumber keuangan yang diincar dalam hal ini. Pertama, dana-dana yang berasal dari pengemplang pajak yang menjadi piutang Pemerintah. Kedua, dana-dana yang disimpan di luar negeri yang juga bisa berasal dari hasil kejahatan pajak internasional. Ketiga, dana-dana yang bersumber dari bisnis ilegal yang dijalankan di Indonesia atau di internasional, seperti judi dan money laundring yang mencari bentuk-bentuk legalisasi aset mereka di Indonesia.
“Jika melihat sumber dana tersebut, dapat disimpulkan bahwa negara melakukan legalisasi kejahatan serius yang dilakukan oleh para koruptor, penjahat, kriminal, dan sejenisnya. Pemberian tax amnesty kepada mereka akan membawa konsekuensi masuknya uang ilegal ke dalam institusi negara. Hal ini juga berarti bahwa negara membuka peluang lebih luas lagi bagi praktik kejahatan yang sama di masa yang akan datang,” paparnya di hadapan Majelis Hakim yang dipimpin oleh Wakil Ketua MK Anwar Usman tersebut.
Padahal, lanjut Daeng, negara lain yang menerapkan pengampunan pajak memiliki tujuan untuk menolong masyarakat dan kepentingan industri makro ekonomi. Berdasarkan pengalaman pajak di berbagai negara, tax amnesty merupakan suatu hukuman bagi orang baik, bagi pembayar pajak yang taat, bagi orang yang bisnis bersih, dan bagi orang yang tidak korupsi.
“Memang ini diakui bahwa tax amnesty bersifat menghukum wajib pajak yang taat. Jadi, kalau berkaitan dengan gugatan yang disampaikan oleh Pemohon, maka ini jelas melanggar prinsip keadilan bagi setiap orang di hadapan hukum karena dia dihukum, padahal dia taat, sementara yang tidak taat terus diberi keleluasaan,” tandasnya.
Ancam Perdagangan Internasional
Sementara, Pakar Hukum Perdagangan Internasional M. Reza Syarifuddin Zaki yang merupakan saksi Pemohon perkara Nomor 57/PUU-XIV/2016, 58/PUU-XIV/2016, dan 59/PUU-XIV/2016 menjelaskan UU Pengampunan Pajak menciptakan inkonsistensi terhadap rezim undang-undang perpajakan. Menurutnya, Pasal 21 ayat (2), (3), dan (4) UU Pengampunan Pajak menunjukkan upaya tidak kooperatif dalam membangun transparasi untuk kepentingan perpajakan maupun perdagangan internasional.
Selain itu, Reza menilai seharusnya UU Pengampunan Pajak memiliki semangat untuk mendorong upaya negara-negara OECD (Organisation for Economic Co-operation and Development) yang ingin merevisi kerahasiaan bank atau bank secrecy yang dianggap dapat menghambat laju keterbukaan informasi pada 2018 mendatang. “Namun Pasal 22 UU Pengampunan Pajak yang mengesankan imunitas hukum pejabat Negara, dalam hal pelaksanaan pengampunan pajak, mencederai semangat equality before the law,” ujarnya.
Menurutnya, UU Pengampunan Pajak berakibat tidak terwujudnya kesepakatan internasional dalam membangun harmonisasi pedagangan yang akan menyulut instabilitas perdagangan, baik bilateral maupun multilateral. Konsekuensinya, dapat terjadi ketidakpastian perdagangan jika terbukti dalam perdagangan tersebut ditemukan aspek-aspek pelanggaran yang diatur di masing-masing negara.
“Padahal perdagangan diciptakan untuk mendorong nilai ekonomi bagi suatu komunitas besar yang disebut negara. Masyarakat termasuk di dalamnya bisa ikut menikmati tumpahan ekonomi dari proses ini,” tutupnya.
Para pemohon yang mengajukan permohonan terkait uji materiil UU Pengampunan Pajak ini di antaranya Serikat Perjuangan Rakyat Indonesia (Perkara 57/PUU-XIV/2016), Yayasan Satu Keadilan (perkara Nomor 58/PUU-XIV/2016), Leni Indrawati dkk (Perkara nomor 59/PUU-XIV/2016) serta Dewan Pengurus Pusat Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (DPP SBSI), Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), dan Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI) (Perkara Nomor 63/PUU-XIV/2016).
Para pemohon menilai ketentuan dalam UU Pengampunan Pajak telah melukai rasa keadilan dalam masyarakat karena bersifat diskriminatif dengan membedakan kedudukan warga negara sebagai warga negara pembayar pajak dan warga negara tidak membayar pajak. Selain itu, ketentuan tersebut juga dinilai memberikan hak khusus secara eksklusif kepada pihak yang tidak taat pajak, berupa pembebasan sanksi administrasi, proses pemeriksaan, dan sanksi pidana. Pemohon juga menilai pengampunan untuk konteks perpajakan tidak sejalan dengan ketentuan konstitusi, yakni lembaga pajak seharusnya bersifat memaksa. Dengan adanya ketentuan a quo, sifat lembaga pajak berubah menjadi lentur bahkan menjadi negotiable.
Hal tersebut dinilaiPemohon sebagai bentuk ketidakadilan dan perlakuan diskriminatif yang nyata terhadap “para pengemplang pajak” dari kewajibannya membayar pajak. Alih-alih diberi sanksi, justru “para pengemplang pajak” tersebut diampuni dan hanya membayar denda yang jumlahnya sama dengan warga lain. (Lulu Anjarsari/lul)