Mahkamah Konstitusi (MK) melakukan uji materi UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia (UU Pengadilan HAM) terhadap UUD 1945, Selasa (21/8) mulai pukul 11.00 WIB untuk perkara No. 18/PUU-V/2007 yang dimohonkan oleh Eurico Guterres dengan Kuasa Hukumnya, M. Mahendradatta, S.H., M.A., M.H., PhD. Persidangan ini mengagendakan Mendengarkan Keterangan Pemerintah dan DPR.
Sedangkan sebelumnya pukul 10.00 WIB, MK mengagendakan sidang Pengucapan Ketetapan Penarikan Kembali perkara No. 13/PUU-V/2007 yang dimohonkan oleh Bambang Kristiono, mantan Komandan Tim Mawar yang terlibat pada peristiwa kasus orang hilang atau Kasus Penculikan dan Penghilangan Paksa Aktivis 1997-1998, yang mengajukan uji materi yang sama dengan perkara No. 18/PUU-V/2007, yaitu menguji Pasal 43 ayat (2) UU Pengadilan HAM terhadap UUD 1945.
Pasal 43 ayat (2) menyatakan: Pengadilan HAM ad hoc sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dibentuk atas usul Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia berdasarkan peristiwa tertentu dengan Keputusan Presiden.
Dalam penjelasannya tertera: Dalam hal Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia mengusulkan dibentuknya Pengadilan HAM ad hoc, Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia mendasarkan dugaan telah terjadinya pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang dibatasi pada locus dan tempus delicti tertentu yang terjadi sebelum diundangkannya undang-undang ini.
Terhadap perkara No. 13/PUU-V/2007, pada persidangan sebelumnya, Panel Hakim memberikan alternatif, pertama, Pemohon dapat menarik permohonannya karena dinilai lemah dalam hal legal standing permohonan yang hanya berlandaskan pada kekhawatiran belaka tanpa bisa menunjukkan kerugian konstitusional yang dialami Pemohon. Kedua, Pemohon Bambang Kristiono masih bisa meneruskan perkaranya yang tentunya putusan atas perkara itu akan memberikan konsekuensi bagi Pemohon perkara No. 18/PUU-V/2007 karena mengajukan uji materi yang sama meskipun sebenarnya memiliki kekuatan legal standing yang berbeda.
Atas pertimbangan di atas, Pemohon perkara No. 13/PUU-V/2007 akhirnya mengajukan permohonan pencabutan atau penarikan kembali perkara. Terhadap permohonan tersebut, berdasarkan rapat pleno permusyawaratan Hakim konstitusi, Kamis (26/7), MK berpendapat permohonan tersebut beralasan secara hukum dan tidak bertentangan dengan undang-undang. Oleh karena itu, permohonan penarikan kembali tersebut harus dikabulkan, ucap Hakim Konstitusi H.A.S. Natabaya saat membacakan Ketetapan No. 13/PUU-V/2007.
Sementara itu, dalam pemeriksaan perkara No. 18/PUU-V/2007, Pemohon yang diwakili Kuasa Hukumnya, A. Wirawan Adnan mengatakan bahwa segala keputusan yang diambil DPR untuk membentuk pengadilan HAM ad hoc, memiliki landasan kepentingan politik. Hal inilah yang menyebabkan Pemohon merasa jaminan perlindungan dan kepastian hukum yang seharusnya Pemohon dapatkan, justru terancam oleh intervensi politik, kata Wirawan.
Lanjut Wirawan, pihaknya tidak mempermasalahkan eksistensi pengadilan HAM Ad Hoc sebagaimana diatur dalam UU Pengadilan HAM, melainkan proses pembentukannya yang melibatkan DPR dinilai bertentangan pula dengan proses-proses dalam Integrated Criminal Justice System yang menegasikan adanya intervensi lembaga lain selain lembaga yudisial.
Sementara itu, Pemerintah melalui Dirjend. HAM Dephukham RI, Harkristuti Harkrisnowo, menyatakan bahwa mekanisme menyertakan pihak lain di luar eksekutif untuk turut serta membentuk Pengadilan HAM Ad Hoc adalah supaya pemerintah tidak dinilai sarat kepentingan. Oleh karenanya, Komnas HAM terlibat bertindak sebagai penyidik dan DPR yang mengusulkan dibentuknya pengadilan HAM Ad Hoc. Pemerintah tidak ada keinginan mempolitisir terbentuknya pengadilan HAM Ad Hoc, jelas Harkristuti. (Wiwik Budi Wasito)