Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Anwar Usman didampingi Hakim Konstitusi I Dewa Gede Palguna menerima kunjungan rombongan Provedoria dos Direitos Humanos e Justica (PDHJ)atau Ombudsman untuk Hak Asasi Manusia (HAM) dan Keadilan Timor Leste di Ruang Delegasi Lantai 15 Gedung MK, Rabu (28/9). Pertemuan tersebut merupakan tindak lanjut dari penandatanganan nota kesepahaman antara Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Indonesia dan PDHJ Timor Leste.
Pada pertemuan tersebut, hadir pula Sasanti Amisani selaku Peneliti Senior Komnas HAM Indonesia mendampingi rombongan PDHJ yang dipimpin Horacio de Almeida selaku Deputy Provedor for Human Rights Affairs PDHJ. Memulai pertemuan, Sasanti menyampaikan bahwa kunjungan PDHJ bertujuan untuk mengetahui berbagai hal terkait tugas MK, termasuk cara menganalisis peraturan hukum agar tidak bertentangan dengan peraturan di atasnya, dan membahas posisi HAM dalam proses uji materiil di MK.
Lebih lanjut, Horacio menjelaskan kunjungan PDHJ tersebut juga untuk mempelajari persoalan legal drafting dan analisis hukum di MK. Selain itu, PDHJ memiliki kewenangan yang hampir sama dengan MK terkait kewenangan untuk mengadili constitutional complaint sehingga PDHJ merasa perlu untuk menimba ilmu ke MK.
“Tujuan kali ini adalah dalam rangka implementasi MoU dengan komnas HAM Indonesia terkait penyusunan legal drafting dan analisis hukum. Sebagai tindak lanjutnya, setelah paparan materi, kami melakukan kunjungan lapangan, salah satunya ke MK. Sesuai mandat Pasal 150 dan Pasal 151 konstitusi kami, PDHJ memiliki kewenangan constitutional complaint yang hampir sama dengan MK,” jelas Horacio.
Tugas dan Kewenangan
Untuk memberikan pemahaman mendalam, Palguna memberikan penjelasan terkait tugas dan kewenangan MK beserta latar belakang singkat. Palguna mengatakan ide pembentukan MK tidak terlepas dari perubahan UUD 1945 yang pada saat itu Palguna turut andil dalam penyusunannya.
Amandemen kala itu, jelas Palguna, lebih mengedepankan pembelaan terhadap HAM. Ketika HAM sudah masuk dalam Konstitusi, lanjutnya, akan menjadi hak konstitusional yang mengikat seluruh cabang kekuasaan negara.
“Hak konstitusional itu perlu diperjuangkan. Maka dari itu, diberikanlah kewenangan pengujian undang-undang ke Mahkamah Konstitusi. Kalau ada satu orang warga negara merasa hak konstitusionalnya dirugikan oleh suatu undang-undang, dia (warga negara, red) bisa langsung berhadapan dengan negara di MK,” jelas Palguna.
Untuk mempermudah akses para pencari keadilan, Palguna menguraikan bahwa berperkara di MK tidak dipungut biaya berperkara. Selain itu, Pemohon bisa mengajukan permohonan termasuk menjalani rangkaian proses persidangan tanpa perlu didampingi kuasa hukum.
Hal tersebut dapat terjadi karena MK didukung berbagai peraturan dan mekanisme pemeriksaan perkara yang transparan. Misalnya, pada sidang pendahuluan, Majelis Hakim yang memeriksa perkara diwajibkan untuk memberikan saran terkait permohonan. Saran tersebut dapat digunakan untuk memperbaiki permohonan, dari persoalan sistematika penulisan permohonan, hingga substansi permohonan.
Namun, lanjut Palguna, bila Pemohon tidak memakai saran yang diberikan oleh Majelis Hakim, permohonan tidak serta merta menjadi gugur. Bila Mahkamah lewat Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH) memutuskan untuk melanjutkan pemeriksaan perkara, maka permohonan awal lah yang akan diperiksa oleh Mahkamah.
Selain itu, Mahkamah juga memiliki fasilitas pendukung untuk membuka akses selebar-lebarnya bagi pencari keadilan. Misalnya, fasilitas video conference yang tersebar di Fakultas Hukum Perguruan Tinggi di seluruh provinsi di Indonesia.
“Dengan adanya fasilitas video conference, Pemohon tidak perlu datang ke Jakarta untuk mengikuti persidangan. Hal ini dapat memangkas biaya dan waktu. Tapi kami juga tidak melarang kalau ingin ke Jakarta karena beberapa pihak merasa belum lengkap kalau tidak ke Jakarta,” ujar Palguna yang disambut senyum audience.
Kendala
Masih berupaya memberikan gambaran kepada PDHJ, Palguna menerangkan dalam pelaksanaan tugas dan kewenangannya, MK tidak terlepas dari berbagai kendala. Salah satunya, yaitu waktu penyelesaian perkara Pengujian Undang-Undang (PUU) yang kerap berlarut-larut. Hal tersebut dapat terjadi karena MK harus memberikan kesempatan kepada para pihak yang berperkara untuk mempertajam argumentasinya demi meyakinkan hakim.
“Yang tidak bisa kami ukur (waktunya, red) itu penyelesaian perkara karena tergantung Pemohon dan para pihak. Berapa ahli yang dihadirkan, misalnya. Kalau ahlinya menyampaikan hal yang sama, kami bisa memberikan saran untuk tidak perlu menghadirkan ahli lagi. Tapi kalau tidak mau, ya kami tidak bisa melarang,” tegas Palguna sembari memberikan contoh penyelesaian perkara Pengujian Undang-Undang Ketenagalistrikan yang memakan waktu pemeriksaan selama kurang lebih tiga bulan lamanya.
Hambatan lain yang dirasakan oleh MK adalah tidak adanya kewenangan constitutional complaint yang dimiliki. Padahal, rerata substansi permohonan PUU yang masuk ke MK adalah perkara constitutional complaint. “Namun hal tersebut dapat teratasi sebab MK membuka ruang yang lebih lebar lewat perkara PUU,” ujar Palguna.
Nostalgia di Atambua
Dalam sesi perbincangan yang lebih santai, Anwar Usman menyampaikan bahwa ia memiliki kenangan terkait Timor Leste. Atambua, kota terbesar kedua di Pulau Timor, pernah ia tinggali lebih dari 10 tahun lamanya. Kota yang berbatasan dengan Timor Leste tersebut memberikan kenangan yang tidak terlupakan bagi Anwar. Meski Anwar tidak dilahirkan di sana, namun Atambua sudah seperti menjadi kampung halaman baginya.
“Saya kalau lihat corak baju itu (baju audience, red) jadi teringat kampung halaman saya di Atambua. Selama 10 tahun lebih kami tinggal di sana,” ujar Anwar tersenyum bahagia.
Hal yang sama juga disampaikan Palguna yang mengaku banyak mahasiswanya di Universitas Udayana berasal dari Timor Leste. “Kalau kami ke Timor Leste, kami tidak akan kelaparan karena banyak kenalan di sana,” kelakar Palguna. (Yusti Nurul Agustin/lul)