Mahkamah Konstitusi (MK) menerima kunjungan 45 mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Pancasila (UP), Rabu (28/9). Kunjungan tersebut disambut Peneliti MK Pan Muhammad Faiz di Ruang Delegasi Lantai 4 Gedung MK.
Dalam pemaparannya, Faiz menjelaskan sejarah amandemen Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) serta awal pembentukan MK. Ia menjelaskan amandemen UUD 1945 merupakan amanat dan cita-cita reformasi. Amandemen UUD 1945, jelasnya, sudah dilakukan sebanyak 4 kali sejak 1999 hingga 2002. "Ini membuat 30 persen lebih konstitusi Indonesia berubah," jelasnya.
MK sendiri lahir melalui amandemen UUD 1945 yang ketiga. Berdasarkan amanat Pasal 24C UUD 1945, MK memiliki empat kewenangan dan satu kewajiban. Kewenangan MK antara lain menguji undang-undang dengan UUD 1945, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan UUD 1945, memutus perkara perselisihan hasil pemilu, dan membubarkan partai politik. Adapun kewajiban MK adalah memutus pemberhentian presiden dan wakil presiden setelah mendengar pendapat dari DPR.
Selain itu, Faiz menjelaskan MK memiliki tiga sifat kelembagaan, yakni selaku guardian of constitution and ideology, guardian of human right and constitutional right, serta interpreter of constitution. "Jadi MK itu sifatnya menjaga konstitusi bernegara. Selain itu, juga satu-satunya lembaga yang berhak menafsirkan konstitusi," katanya menegaskan.
Dalam konteks ketatanegaraan, MK setara dengan lembaga negara lainnya dan digolongkan sebagai lembaga tinggi negara, seperti Mahkamah Agung (MA), Badan Pemeriksa Keuangan, Dewan Perwakilan Rakyat, serta Kepresidenan. Adapun secara kekuasaan kehakiman, MK bersama MA berada di puncak kekuasaan kehakiman.
Sesi Tanya Jawab
Setelah pemaparan selesai, agenda berlanjut pada sesi diskusi.Para mahasiswa pun antusias mengajukan pertanyaan. Salah satu penanya, Ega, menanyakan apabila MK sudah memutus presiden melanggar konstitusi, bagaimana jika DPR dan MPR tak menjalankan putusan itu. Sebab, putusan terakhir turun atau tidaknya seorang presiden berada di tangan DPR dan MPR.
Menjawabnya, Faiz menyebut hal itu masih mengalami perdebatan. Mengutip pendapat Jimly Asshiddiqie, putusan MK terkait pemakzulan presiden sifatnya kombinasi antara hukum dan politik. MK menilai seorang presiden apakah melanggar konstitusi dari sisi hukum, sedangkan DPR dan MPR dari sisi politik.
Sedangkan mahasiswa lain, bernama Gilang, menanyakan adanya upaya hukum lain jika MK sudah memutuskan suatu putusan. Faiz menyebut jika sifat putusan MK adalah final dan mengikat. Sehingga tak ada upaya semacam banding atau kasasi.
(ars/lul)