Sidang perbaikan permohonan uji Undang-Undang No. 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang No. 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang (UU Pilkada) digelar Mahkamah Konstitusi (MK), Rabu (28/9).
Hadir dalam sidang perkara No. 68/PUU-XIV/2016 tersebut Muhammad Zainal Arifin selaku Pemohon. Dalam yang dipimpin Hakim Konstitusi Manahan Sitompul, Pemohon memperkuat legal standingnya.
“Yang Mulia, sudah saya ubah di halaman 6 poin 4. Saya bacakan, bahwa Pemohon mempunyai hak konstitusional untuk memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa, dan negaranya. Sebagaimana dilindungi dalam Pasal 28C ayat (2) Undang-Undang Dasar Tahun 1945 dengan menggunakan hak pilih dan menggalang dukungan kepala daerah yang amanah dalam pemilihan kepala daerah,” urai Arifin.
Di samping itu, imbuh Arifin, dirinya mempunyai hak konstitusional untuk memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan sebagaimana diatur dalam Pasal 28D ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945. “Pemohon mempunyai hak untuk mencalonkan diri dan dicalonkan sebagai calon gubernur, calon wakil gubernur, calon bupati, dan calon wakil bupati, serta calon walikota, dan calon wakil walikota,” tegasnya.
Dalam pemilihan kepala daerah (pilkada), Pemohon memiliki kepentingan konstitusional sebagai pemilih agar pilkada dilaksanakan secara fair dan demokratis guna mendapatkan pemimpin yang amanah, membangun masyarakat, bangsa, dan negaranya. Namun, Pemohon merasa pasal-pasal yang diujikan memberikan perlakuan yang istimewa dan berbeda kepada petahana yang kembali mencalonkan diri di daerah yang sama tanpa memberikan syarat berhenti dari jabatannya.
Ketentuan tersebut menurut Arifin, mengakibatkan pemilihan kepala daerah berpotensi dilakukan tidak demokratis karena petahana memiliki hak dan kekuasaan politik yang berpotensi dapat memengaruhi kebijakan atau pengaturan tentang pelaksanaan pemilihan melalui KPU, KPU Provinsi, KPU Kabupaten, serta terhadap pemerintah atau pemerintahan daerah.
Arifin pun menyebut ketentuan a quo mengakibatkan hak konstitusional Pemohon untuk memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan berpotensi terlanggar seandainya Pemohon dicalonkan sebagai kepala daerah dan bertarung dengan petahana dalam pilkada. “Mengingat petahana yang masih berstatus sebagai kepala daerah dan mempunyai kekuasaan untuk mempengaruhi pemerintahan meski dia menjalani cuti kampanye,” imbuhnya.
Sebelumnya, Pemohon menyatakan hak konstitusionalnya dilanggar dengan ketentuan Pasal 7 ayat (2) huruf p UU Pilkada yang berbunyi, “Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur, Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati, serta Calon Walikota dan Calon Wakil Walikota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi persyaratan sebagai berikut: berhenti dari jabatannya bagi Gubernur, Wakil Gubernur, Bupati, Wakil Bupati, Walikota, dan Wakil Walikota yang mencalonkan diri di daerah lain sejak ditetapkan sebagai calon.”
Pemohon juga menguji Pasal 70 ayat (3) UU No. 10/2016 yang menyatakan, “Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, Walikota dan Wakil Walikota, yang mencalonkan kembali pada daerah yang sama, selama masa kampanye harus memenuhi ketentuan: menjalani cuti di luar tanggungan negara; dan dilarang menggunakan fasilitas yang terkait dengan jabatannya.” Selain itu Pasal 70 ayat (4) UU a quo, “Cuti sebagaimana dimaksud pada ayat (3) bagi Gubernur dan Wakil Gubernur diberikan oleh Menteri Dalam Negeri atas nama Presiden, dan bagi Bupati dan Wakil Bupati serta Walikota dan Wakil Walikota diberikan oleh Gubernur atas nama Menteri.”
Kemudian Pasal 70 ayat (5) UU No. 10/2016 yang menyatakan, “Cuti yang telah diberikan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), wajib diberitahukan oleh Gubernur dan Wakil Gubernur kepada KPU Provinsi, dan bagi Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota kepada KPU Kabupaten/Kota.”
Dalam permohonannya, Pemohon menilai bahwa ketentuan a quo diskriminatif karena ketentuan berhenti dari jabatannya hanya berlaku bagi petahana yang mencalonkan diri di daerah lain, bukan petahana yang mencalonkan diri di daerah yang sama. Pemohon juga menilai ketentuan cuti saat mencalonkan diri sebagai kepala daerah hanya berlaku bagi calon petahana yang mencalonkan diri di daerah yang sama, tidak berlaku bagi pejabat negara lainnya. Pemohon beralasan, ketentuan a quo seharusnya mengatur semua pejabat negara tanpa membeda-bedakan persyaratan bagi calon kepala daerah yang berasal dari petahana dengan calon lainnya.
(ars/lul)