Sidang pemeriksaan pendahuluan uji materi Undang-Undang No. 42 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) (UU MD3) digelar Mahkamah Konstitusi (MK) pada Selasa (27/9) siang.
Pemohon perkara Nomor 76/PUU-XIV/2016 tersebut adalah Munathsir Mustaman dan Achmad Safaat yang berprofesi sebagai advokat. Keduanya menguji norma yang diujikan adalah Pasal 121 ayat (2) yang berbunyi, “Pimpinan Mahkamah Kehormatan Dewan terdiri atas 1 (satu) orang ketua dan paling banyak 3 (tiga) orang wakil ketua yang dipilih dari dan oleh anggota Mahkamah Kehormatan Dewan dalam satu paket yang bersifat tetap berdasarkan usulan fraksi sesuai dengan prinsip musyawarah untuk mufakat.”
Safaat mendalilkan bahwa hak-hak konstitusionalnya telah dilanggar dengan berlakunya ketentuan tersebut. Dalam permohonannya, para Pemohon mendalilkan bahwa pimpinan Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) harusnya berjumlah ganjil.
“Sementara pasal 121 ayat (2) menyebutkan jumlah genap yaitu satu ketua dan tiga wakil ketua. Menurut Pemohon hal tersebut berpotensi menimbulkan deadlock dalam pengambilan keputusan secara voting,” kata Safaat di hadapan Majelis Hakim yang dipimpin Hakim Konstitusi I Dewa Gede Palguna.
Pemohon menambahkan jika sampai proses pengambilan keputusan MKD mengalami deadlock, maka akan berakibat tidak berjalannya penegakan kode etik anggota DPR. Menurut para Pemohon, ketentuan Pasal 121 ayat (2) UU MD3 bertentangan dengan Pasal 20 ayat (2) dan Pasal 28H ayat (1) UUD 1945.
Oleh karena itu, Pemohon meminta MK menyatakan ketentuan Pasal 121 ayat (2) UU MD3 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “Pimpinan Mahkamah Kehormatan Dewan terdiri atas 1 orang ketua dan paling banyak 4 orang wakil ketua yang dipilih dari dan oleh anggota Mahkamah Kehormatan Dewan dalam satu paket yang bersifat tetap berdasarkan usulan fraksi sesuai dengan prinsip musyawarah untuk mufakat”.
Nasihat Hakim
Terhadap dalil-dalil yang disampaikan Pemohon, Palguna menanggapi posita Pemohon yang dianggap tidak menjelaskan pertentangan undang-undang yang diujikan dengan UUD 1945. “Pada posita Saudara tidak ada penajaman ke arah mengapa Saudara sampai menganggap itu ada pertentangan dengan kedua pasal yang Saudara gunakan sebagai dasar pengujian itu. Hal yang kedua, saya tidak melihat ada perbedaan uraian Saudara ketika Saudara menjelaskan legal standing Saudara dengan uraian alasan permohonanan, itu sama saja,” urai Palguna.
Sementara, Hakim Konstitusi Maria Farida Indrati menasehati Pemohon agar menjelaskan kerugian konstitusional Pemohon. “Anda harus menjelaskan kerugian konstitusional Anda. Apakah Anda mempunyai hak konstitusional yang dirumuskan dalam konstitusi. Dalam hal ini, Anda mengatakan tadi ada dua pasal dari Undang-Undang Dasar yang Anda anggap itu merupakan hak konstitusional. Karena tanpa Anda bisa menjelaskan hak konstitusional Anda yang terlanggar, maka legal standing Anda tidak akan terpenuhi,” tandas Maria.
(Nano Tresna Arfana/lul)