Dua orang ahli yang dihadirkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK) memberi pandangan yang berbeda dalam menanggapi pembatasan hak petahana yang akan mencalonkan diri kembali dalam pilkada. Hal tersebut terungkap pada sidang pengujian Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota (UU Pilkada) Senin (26/9) di Ruang Sidang Pleno Mahkamah Konstitusi (MK).
Pakar Hukum Tata Negara dari Universitas Pancasila Muhammad Rullyandi selaku ahli yang dihadirkan Pemohon perkara Nomor 55/PUU-XIV/2016 Fuad Hadi, berpendapat petahana yang mencalonkan diri kembali di daerah pemilihan yang sama wajib mundur seperti halnya petahana yang mencalonkan diri di daerah pemilihan yang berbeda. Menurut Rully, hal tersebut dilakukan demi menjunjung prinsip persamaan di hadapan hukum (equality before the law).
Ketentuan Pasal 7 ayat (2) huruf p dan Pasal 70 ayat (3) UU Pilkada, menurut Rullyandi, mencerminkan diskriminasi kepada calon kepala daerah yang mencalonkan diri di daerah pemilihan yang berbeda. Kesimpulan tersebut didapatkan Rullyandi setelah melihat bahwa pembentuk undang-undang memiliki kehendak memberikan perlakuan yang tidak sama dalam persyaratan pencalonan yang sifatnya mutlak wajib dipenuhi dalam suatu kontestasi pemilihan kepala daerah.
Selain itu, Rullyandi melihat bahwa kepala daerah yang akan mencalonkan diri, baik petahana maupun yang akan mencalonkan diri di daerah lain, merupakan satu genus (jenis). Artinya, petahana yang mencalonkan diri di daerah pemilihan yang sama maupun berbeda memiliki kedudukan yang sama sebagai pejabat yang mempunyai kewenangan dan kekuasaan.
Oleh karena itu, Rullyandi menyimpulkan bahwa Pasal 7 ayat (2) huruf p UU Pilkada bukan merupakan suatu justifikasi objektif dan masuk akal (reasonable and objective justification) sebagai rasio logis dari perlakuan legal treatment yang berbeda. Dengan tegas Rullyandi menuturkan bahwa ketentuana quo merupakan pelanggaran prinsip di hadapan hukum (equality before the law) yang merupakan salah satu pilar penting dari negara hukum (rule of law) dan negara demokrasi.
“Sebagai ilustrasi, kontestasi pemilu mengharuskan wajib semua peserta pemilu kepala daerah, para calon gubernur, bupati, walikota, dan para penantangnya berangkat pada titik start yang equal. Artinya, dalam kedudukan berhenti dari jabatan khusus, para pejabat kepala daerah yang akan mencalonkan diri hingga proses pemilihan kepala daerah, berakhir semata-mata dimaksudkan untuk mencegah penyalahgunaan kekuasaan,” tutur Rullyandi membenarkan dalil Pemohon yang mengatakan seharusnya petahana yang mencalonkan diri di daerah yang sama wajib mundur demi menghindari konflik kepentingan dan penyalahgunaan kekuasaan.
Hilangkan Hak Gubernur
Sementara itu, pada sidang yang sama, mantan Hakim Konstitusi Harjono yang memberikan keterangan ahli terhadap Perkara No. 60/PUU-XIV/2016 yang dimohonkan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok), justru menilai kewajiban cuti bagi petahana yang berniat mencalonkan diri kembali akan menghilangkan haknya sebagai kepala pemerintahan di daerah.
Harjono menyampaikan Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 menyatakan bahwa gubernur, bupati, dan walikota masing-masing sebagai kepala daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis. Frasa “sebagai kepala daerah” menurut Harjono merupakan pemberian kewenangan oleh UUD 1945 terhadap gubernur, bupati, dan walikota. Dengan demikian, Harjono mengingatkan bahwa kepala daerah dan gubernur merupakan dua hal yang berbeda. “Kepala daerah itu adalah kumpulan dari fungsi-fungsi dan gubernur itu adalah orangnya yang memegang kepala daerah,” jelas Harjono di hadapan Majelis Hakim yang dipimpin Ketua MK Arief Hidayat.
Dengan menggunakan pendekatan tersebut, Harjono menyatakan tidak mungkin ada kepala pemerintahan lain selain gubernur dan tidak ada gubernur tanpa status sebagai kepala pemerintahan. Selaku kepala pemerintahan, gubernur memiliki tugas, kewajiban, dan kewenangan yang diatur oleh Pasal 65 ayat (1) Undang-Undang Pemerintahan Daerah.
Dari pasal tersebut didapati bahwa terdapat tugas harian/rutin gubernur dan tugas yang berkaitan dengan pengambilan kebijakan bersifat strategis terkait aspek keuangan, kelembagaan, personil, perizinan dan aspek strategis lainnya. Kewenangan atau tugas semacam ini tidak dapat didelegasikan.
“Kewenangan gubernur, bupati, dan walikota dalam pengelolaan keuangan daerah, sebagaimana diatur dalam Pasal 6 Undang-Undang Keuangan Negara memenuhi ketentuan yang terdapat dalam Pasal 13 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Pemerintahan, yaitu kewenangan delegasi. Terhadap kewenangan delegasi, Pasal 13 ayat (3)-nya menyatakan, Adanya larangan bahwa kewenangan yang didelegasikan kepada badan atau pejabatnya tidak dapat didelegasikan lebih lanjut. Jadi kalau seorang pejabat mendapat kewenangan delegasi, mandek, enggak bisa didelegasikan lebih lanjut. Kecuali, ditentukan lain peraturan perundang-undangan,” urai Harjono.
Bila dikaitkan dengan ketentuan kewajiban cuti pada masa kampanye, Harjono menegaskan kewajiban cuti tersebut menghilangkan hak gubernur. Misalnya, bila dikaitkan dengan hak gubernur selaku kepala pemerintahan untuk membuat APBD yang tidak dapat didelegasikan oleh pejabat pemda manapun. Oleh karena itu, Harjono menyimpullkan telah terjadi ketidakpastian hukum akibat ketentuan wajib cuti pada masa kampanye bagi petahana.
Sebagai solusi, Harjono mengingatkan bahwa seharusnya yang perlu diperketat adalah sektor pengawasan dalam penyelenggaraan Pilkada. “Kalau pengawasan itu bagus dan tepat, di mana pun juga bisa diawasi. Oleh karena itu, sebetulnya yang dibutuhkan adalah sistem pengawasan, bukan lalu mempreteli hak-hak yang seharusnya sudah dijamin oleh konstitusi, yaitu hak gubernur sebagai kepala daerah,” tegas Harjono. (Yusti Nurul Agustin/lul)