Sebanyak 30 mahasiswa Program Pascasarjana Sekolah Tinggi Ilmu Hukum (STIH) Pertiba Pangkalpinang berkunjung ke Mahkamah Konstitusi (MK), Senin (26/9) di ruang delegasi lantai 4 Gedung MK. Kunjungan tersebut bertujuan agar para mahasiswa lebih mengenal MK dan mempelajari langsung hal-hal yang berkaitan dengan MK.
“Tujuan kami adalah agar kami dapat lebih mempelajari MK, khususnya bagi kepentingan para mahasiswa Program Pascasarjana Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Pertiba,” kata Direktur Program Pascasarjana STIH Pertiba Marbawi H. Syakban.
Kedatangan para mahasiswa diterima oleh Panitera Pengganti MK Fadzlun Budi Sulistyo Nugroho. Mengawali paparannya. Fadzlun menuturkan sejarah judicial review di dunia, yaitu saat Kasus Marbury vs Madison di Amerika Serikat pada 1803. Selanjutnya, kasus tersebut mengilhami Hans Kelsen, pakar hukum tata negara dari Austria untuk membentuk lembaga peradilan yang berwenang menguji undang-undang. Hingga kemudian dibentuklah Mahkamah Konstitusi pertama di Austria tahun 1920.
Berdirinya MK di Austria, lanjutnya, memengaruhi negara-negara lain di Eropa untuk membentuk lembaga peradilan konstitusi. “Sampai kemudian pembentukan MK menyebar ke Indonesia pada masa kemerdekaan,” ujarnya.
Fadzlun menuturkan, pada masa kemerdekaan, tokoh nasional Mohammad Yamin sempat mencetuskan ide perlunya wewenang membanding atau menguji undang-undang oleh Balai Agung di Indonesia saat itu. Namun, Soepomo tidak sependapat dengan Yamin. Menurut Soepomo, semangat Undang-Undang Dasar yang dibangun Indonesia pada saat itu tidak menganut pemisahan kekuasaan tapi pembagian kekuasaan. Alasan kedua, ahli-ahli hukum di Indonesia ketika itu belum siap dan belum cukup pengalaman untuk melakukan pengujian undang-undang.
Bertahun-tahun kemudian, pada 2001, saat amandemen UUD 1945, ide perlu dibentuknya MK di Indonesia kembali dicetuskan. Alhasil setelah melalui proses pembahasan panjang, Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (MKRI) dibentuk pada 13 Agustus 2003. Sesuai Pasal 24C UUD 1945 disebutkan empat kewenangan dan satu kewajiban Mahkamah Konstitusi.
Pasal 24C Ayat (1) berbunyi, “Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihantentang hasil pemilihan umum.”
Sedangkan Pasal 24C Ayat (2) menyebutkan, “Mahkamah Konstitusi wajib memberikan putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyatmengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut Undang-Undang Dasar.”
Pada pertemuan itu, Fadzlun mengatakan MK paling banyak menyidangkan perkara-perkara mengenai uji materi undang-undang dibandingkan dengan kewenangan yang lain. “Perkara sengketa antara lembaga negara hanya sedikit jumlahnya. Kemudian, MK juga belum pernah memutus pembubaran partai politik. Selain itu, MK juga memutus perkara-perkara perselisihan hasil pemilu dan pilkada. Namun belum pernah memutus pendapat DPR terkait pemakzulan presiden dan/atau wakil presiden,” ungkap Fadzlun.
Fadzlun melanjutkan dalam sidang pengujian undang-undang, hanya ada dua pihak yang berperkara, yaitu Pemohon dan Terkait. Pihak Pemohon adalah pihak yang menganggap hak dan atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya undang-undang. Sesuai Pasal 51 ayat (1) UU MK, Pemohon adalah perorangan warga negara Indonesia; kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat; badan hukum publik atau privat; lembaga negara.
Sedangkan yang disebut sebagai Pihak Terkait adalah pihak yang terkait dalam perkara pengujian undang-undang, dapat bersikap pro maupun kontra terhadap Pemohon. Selain itu, Pemerintah dan DPR pun dihadirkan untuk memberikan keterangan dalam perkara pengujian undang-undang di MK.
(Nano Tresna Arfana/lul)