Perluasan definisi pasal zina, pasal pencabulan, dan pasal perkosaan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) menimbulkan diskriminasi dan melanggar hak dasar manusia. Hal tersebut disampaikan Direktur Advokasi dan Kampanye Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Bahrain selaku Pihak Terkait dalam sidang kesembilan perkara No. 46/PUU-XIV/2016, Kamis (22/9) di Ruang Sidang Pleno Mahkamah Konstitusi (MK).
Diskriminasi dan pelanggaran hak dasar sebagai manusia, menurut Bahrain, dapat terjadi meski para Pemohon dalam argumentasinya mengatakan perluasan pasal zina dapat memberikan perlindungan kepada keluarga. Ia menjelaskan diskriminasi tersebut terutama akan dirasakan oleh mereka yang memiliki perbedaan perilaku seksual (homoseksual).
“Jelaslah bahwa ide dasar di balik permohonan uji materiil ketentuan dalam Pasal 284 KUHP, 285 KUHP, dan Pasal 292 KUHP yang diajukan oleh Para Pemohon adalah agar MK membuat norma baru sehingga negara dapat memenjarakan mereka yang melakukan hubungan seksual di luar perkawinan di antara orang dewasa atas dasar suka sama suka, perkosaan terhadap laki-laki dan perempuan di luar perkawinan, serta kriminalisasi terhadap kelompok masyarakat yang memiliki orientasi seksual non-normatif, non-heteroseksual atau disebut juga sebagai kelompok seksual minoritas,” ujar Bahrain di hadapan Majelis Hakim yang dipimpin Ketua MK Arief Hidayat.
Lebih lanjut, Bahrain menuturkan perluasan definisi perzinaan, perkosaan, dan pencabulan juga bertentangan dengan prinsip non-diskriminasi yang dijamin dalam Pasal 28 ayat (1), 28I ayat (1) UUD 1945. Selain itu, perluasan dimaksud juga dianggap bertentangan dengan hak atas dasar kehidupan pribadi (privacy right), prinsip penghormatan terhadap martabat manusia (the right to dignity), dan prinsip persamaan di muka hukum (equality before the law). Sebab, hak atas dasar martabat manusia merupakan pondasi untuk hak asasi manusia, seperti hak untuk kesetaraan, non-diskriminasi, privasi, dan kebebasan dari penyiksaan dan perlakuan tidak manusiawi.
YLBHI pun menganggap permohonan para Pemohon juga bertentangan dengan hak atas perlindungan diri pribadi yang dijamin oleh Pasal 28G ayat (1) UUD 1945. Sebab, hak atas perlindungan diri pribadi merupakan hak fundamental bagi setiap orang. Hak itu mendasari hak atas otonomi dan integritas tubuh (the body integrity) serta identitas pribadi. Dalam kaitan dengan Pasal 284 dan 292 KUHP, berkaitan pula dengan identitas gender dan seksualitas manusia.
“Ini berarti masalah aktivitas seksual masuk dalam kategori dan definisi urusan pribadi karena tidak satu pun orang mempunyai hak untuk mempertanyakan bagaimana dua orang dewasa yang atas kesepakatan atau suka sama suka melakukan hubungan seksual. Sebagaimana juga hak privacy itu melindungi hubungan seksual dari kelompok berorientasi heteroseksual, maka hak privacy harus pula diberlakukan terhadap kelompok homoseksual atau kelompok dengan identitas gender dan orientasi seksual yang berbeda dengan kelompok heteroseksual yang selama ini menikmati hak-haknya yang dijamin oleh konstitusi,” tegas Bahrain.
Selanjutnya YLBHI berargumentasi bahwa hak atas privasi memiliki kaitan erat dengan hak untuk menentukan nasib sendiri. Pada akhirnya, hak untuk menentukan nasib sendiri tersebut dapat melahirkan hak atas integritas tubuh yang menghormati hak seksual, kesehatan, serta reproduksi.
Kewajiban Negara
Sementara itu, Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Roichatul Aswidah selaku ahli yang dihadirkan Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) yang juga Pihak Terkait menegaskan bahwa kriminalisasi terhadap suatu perbuatan merupakan opsi terakhir dalam upaya perlindungan terhadap hak asasi manusia.
Aswidah melihat hak asasi manusia dari sudut pandang kewajiban negara (state obligation). Menurutnya, negara memiliki posisi sentral dalam hak asasi manusia, yaitu sebagai penanggung jawab serta penanggung kewajiban negara (state obligation) untuk mewujudkan hak asasi manusia.
Dengan posisi tersebut, Aswidah melihat bahwa negara seharusnya wajib menghormati hak asasi dengan cara menahan diri dari mengintervensi hak-hak individu. Selain itu, negara juga memiliki kewajiban untuk Sementara kewajiban untuk melindungi (obligation to protect).
Kewajiban untuk melindungi tersebut merujuk pada Pasal 2 Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik yang memuat terminologi hak atas perlindungan hukum (rights to the protection of the law). Dengan adanya kewajiban tersebut, negara perlu melakukan perlindungan, bukan hanya dari aparatur negara, namun juga terhadap intervensi pihak ketiga atau sesama masyarakat.
“Hal ini memberikan kewajiban kepada negara untuk memberikan perlindungan dengan dalam beberapa hal membatasi hak, termasuk dalam hal ini kemudian mengkriminalkan suatu perbuatan apabila langkah lain tidak mencukupi. Beberapa perbuatan pelanggaran hak asasi manusia kemudian ditetapkan sebagai sebuah tindakan pidana. Dengan demikian, sebagaimana kita ketahui bersama, mengkriminalkan suatu perbuatan menjadi tindak pidana adalah sebuah langkah yang menjadi pelaksanaan kewajiban negara, yaitu untuk melindungi (obligation to protect). Namun demikian, hal ini dilakukan sebagai langkah terakhir (ultimum remedium) atau last resort apabila langkah lain dianggap tidak mencukupi,” terang Aswidah.
Ditegaskan oleh Aswidah, pembatasan hak oleh negara dapat saja dilakukan. Asalkan, pembatasan tersebut didasari oleh hukum (prescribe by law) yang dapat dikontrol untuk menghindari pelaksanaan pembatasan hak yang sewenang-wenang. Selain itu, pembatasan hak juga harus didasarkan atas tujuan sah (legitimate aim) yang mengizinkan adanya pembatasan hak hanya berdasarkan hukum dan hanya apabila diperlukan dalam masyarakat yang demokratis (necessary in a democratic society), beserta alasannya.
Aswidah menyebut bahwa kriminalisasi suatu perbuatan sebagai bentuk pembatasan hak asasi manusia merupakan langkah terakhir yang dapat dilakukan oleh negara. Langkah perlindungan dengan mengkriminalisasi suatu perbuatan tersebut hanya dapat diberlakukan bagi mereka yang belum mampu melindungi diri sendiri, ataupun belum mampu mengatur ruang otonomnya, seperti anak-anak.
MK akan kembali menggelar persidangan berikutnya untuk perkara yang dimohonkan oleh 12 orang warga negara Indonesia tersebut. MK akan menggelar sidang lanjutan pada 4 Oktober 2016 dengan agenda mendengarkan keterangan para ahli maupun saksi yang dihadirkan Pihak Terkait. Pada persidangan berikutnya, MUI juga akan menyampaikan keterangannya terkait perkara No. 46/PUU-XIV/2016 tersebut. (Yusti Nurul Agustin/lul)