Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang lanjutan uji Undang-Undang No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (UU Pemda), Rabu (21/9) di ruang sidang MK. Sidang perkara Nomor 56/PUU-XIV/2016 yang dimohonkan oleh Aktivis Buruh Muhammad Hafidz tersebut beragendakan mendengarkan keterangan ahli yang dihadirkan oleh Pemohon, yakni Boli Sabon Max selaku Dosen Hukum Ketatanegaraan Universitas Katolik Atmajaya.
Boli menjelaskan, berdasarkan teori hukum administrasi negara, kewenangan apa pun yang dilakukan pejabat negara harus ada kompetensinya terlebih dahulu. Ia menjabarkan tiga kompetensi dimaksud, yakni atribusi, delegasi dan mandat.
“Atribusi yaitu kewenangan yang langsung diberikan oleh Undang-Undang Dasar atau undang-undang. Sedangkan kompetensi delegasi adalah pengalihan dari orang atau lembaga yang telah memiliki atribusi kepada lembaga lain. Kompetensi ketiga adalah mandat, tetapi yang ketiga ini kurang penting,” kata Boli di hadapan Majelis Hakim yang dipimpin Ketua MK Arief Hidayat.
Menurutnya, kompetensi paling penting adalah atribusi dan delegasi. Mengaitkan dengan permohonan Pemohon yang mempersoalkan kewenangan pemerintah pusat batalkan peraturan daerah (perda), Boli pun mempertanyakan hal tersebut. “Pertanyaannya adalah dari mana Menteri Dalam Negeri dan gubernur memperoleh kompetensi itu (membatalkan perda, red). Kalau Mahkamah Agung itu jelas Pasal 24A ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945,” ucap Boli.
Dikatakan Boli, kompetensi MA membatalkan perda merupakan kompetensi atribusi yang diberikan UUD 1945. Sedangkan kompetensi pemerintah pusat membatalkan perda bersumber dari atribusi UU Pemda. “Sehingga sudah sepantasnya dan selayaknya bahwa jika sama-sama berdasarkan atribusi, maka atribusi yang terdapat di dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tidak mempunyai kekuatan mengikat alias batal demi hukum,” tegas Boli.
Berdasarkan uraian tersebut di atas, Boli berkesimpulan bahwa tidak ada lembaga lain selain Mahkamah Agung yang mempunyai wewenang menguji material dan formal peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang. Sebab, kompetensi Mahkamah Agung ini bersumber dari atribusi UUD 1945.
“Ketentuan Pasal 251 ayat (1) dan ayat (2) dan tentu saja termasuk ayat (7) dan ayat (8) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 adalah bertentangan dengan Pasal 24A ayat (1) Undang-Undang Dasar Tahun 1945. Sehingga berdasarkan asas umum lex superior derogat legi inferior, ketentuan tersebut tidak sah dan batal demi hukum,” papar Boli.
Dalam sidang pendahuluan, Pemohon mendalilkan ketentuan UU Pemda telah memberikan kewenangan kepada gubernur dan menteri untuk membatalkan perda yang bertentangan dengan ketentuan perundang-undangan yang lebih tinggi, kepentingan umum, dan/atau kesusilaan, pada tingkatan kabupaten/kota atau provinsi dan juga terhadap peraturan gubernur atau bupati/walikota. Kewenangan tersebut, menurut Pemohon, merupakan executive review yang dapat digunakan untuk kesewenang-wenangan pemerintah pusat dan cenderung mengarah resentralisasi. Executive review secara represif yang diatur dalam UU Pemda, menurut Pemohon, merupakan kompetensi Mahkamah Agung (MA) sebagai pengadilan negara tertinggi dari badan peradilan umum, agama, militer dan tata usaha negara. Oleh karena itu, Pemohon berpendapat bahwa ketentuan tersebut bertentangan dengan Pasal 24A ayat (1) UUD 1945.
Menurut Pemohon, ketentuan dalam Pasal 251 ayat (1) dan ayat (2) UU Pemda harus dinyatakan inkonstitusional bersyarat sepanjang tidak dimaknai, “Gubernur atau Menteri dapat 5 mengajukan permohonan pembatalan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota dan Peraturan Bupati/Walikota, atau Peraturan Daerah Provinsi dan Peraturan Gubernur yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, kepentingan umum, dan/atau kesusilaan ke Mahkamah Agung paling lama 14 (empat belas) hari setelah ditetapkan”.
(Nano Tresna Arfana/lul)