Forum Kajian Hukum dan Konstitusi (FKHK) memperbaiki permohonan uji materiil Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (UU Pemda) dan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung (UU MA). Sidang kedua perkara dengan Nomor 66/PUU-XIV/2016 tersebut digelar pada Selasa (20/9) di Ruang Sidang MK.
Dalam sidang yang dipimpin Hakim Konstitusi Manahan Sitompul, Achmad Saifuddin Firdaus selaku kuasa pemohon menjelaskan telah memperbaiki permohonan sesuai dengan saran yang diberikan oleh Majelis Hakim pada sidang sebelumnya. Pemohon menegaskan kedudukan hukum dan memperbaiki argumentasi permohonan guna memperkuat permohonan. “Kami sudah memperbaiki kedudukan hukum dan penambahan materi yang didalilkan,” ujarnya.
Dalam permohonannya, Pemohon mendalilkan hak konstitusionalnya terlanggar dengan berlakunya Pasal 245 ayat (1) dan ayat (3), Pasal 251 ayat (2), ayat (3), dan ayat (4), Pasal 267 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 268 ayat (1), Pasal 269 ayat (1), Pasal 270 ayat (1), Pasal 271 ayat (1), Pasal 324 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 325 ayat (1) dan ayat (2) UU Pemda serta Pasal 31 ayat (2) UU MA. Pemohon menjelaskan Pemerintah melalui Kementerian Dalam Negeri telah membatalkan ribuan peraturan daerah (perda) provinsi atau kabupaten/kota yang diatur dalam Pasal 251 UU Pemda. Hal tersebut menyebabkan Pemohon yang bergerak dalam bidang kepentingan umum merasa kebijakan tersebut berdampak luas bagi jalannya roda pemerintahan di daerah.
Pemohon juga menilai, ketentuan dalam UU Pemda telah menimbulkan ketidakpastian hukum karena mengakibatkan polemik dan problematika secara akademik dan praktis dalam hal pengawasan dan pengujian norma perda. Seharusnya, konsep pengawasan pemerintah pusat hanya sebatas preview terhadap rancangan perda (ranperda) sebelum diundangkan, bukan membatalkan perda yang sudah disahkan pemerintahan daerah (kepala daerah dan DPRD). Pemerintah Pusat seharusnya hanya mengevaluasi dan sinkronisasi terhadap peraturan yang lebih tinggi.
Menurut Pemohon, hak yang diberikan kepada pemerintahan daerah untuk menetapkan peraturan daerah, merupakan bentuk daulat rakyat di tingkat daerah. Melalui peraturan daerah, imbuhnya, aspirasi kepentingan daerah dapat terakomodasi. Menurut Pemohon, pasal a quo melemahkan sistem presidensiil dan bertentangan dengan Pasal 24A ayat (1) UUD 1945 serta menentang bab konstitusional tentang otonomi daerah yang menyatakan daerah mengatur urusan pemerintahannya sendiri seperti yang tercantum dalam Pasal 18 ayat (2) UUD 1945.
Kemudian, Pemohon menilai ketentuan tersebut juga menimbulkan dualisme dalam proses pembatalan perda yang berdampak pada timbulnya ketidakpastian hukum dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Hal tersebut dapat merugikan masyarakat karena berpotensi menimbulkan dua hasil pembatalan perda yang berbeda.
Selain itu, Pemohon juga meminta MK agar memberi penegasan bahwa perda hanya dapat dibatalkan melalui putusan Mahkamah Agung apabila suatu perda dinilai bertentangan dengan undang-undang. Dengan demikian, terdapat keseragaman tolok ukur dalam menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang. Oleh karena itu, dalam petitum-nya, Pemohon meminta MK untuk mengabulkan permohonan Pemohon dan menyatakan Pasal a quo tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat dan bertentangan dengan UUD 1945. (Lulu Anjarsari/lul)