Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang perbaikan permohonan uji materiil Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas UU No. 1 Tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota (UU Pilkada), serta Undang-Undang No. 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum (UU Penyelenggara Pemilu), Selasa (20/9) di ruang sidang MK. Perkara teregistrasi Nomor 64/PUU-XIV/2016 dan 65/PUU-XIV/2016 tersebut diajukan oleh Ahmad Irawan serta Dekan Fakultas Hukum Universitas Ibnu Chaldun Jakarta Muhammad Syukur Mandar dan BEM FH Universitas Ibnu Chaldun Jakarta.
Memaparkan pokok permohonannya, Pemohon Perkara 64 Ahmad Irawan menegaskan bentuk intervensi yang dilakukan DPR dan Pemerintah pada urusan internal dan kewenangan KPU dan Bawaslu. “Kewajiban konsultasi dalam penyusunan regulasi dan pendapat Pemerintah dan DPR telah melanggar hak konstitusional Pemohon,” jelasnya dalam persidangan yang dipimpin Hakim Konstitusi I Dewa Gede Palguna.
Sementara, Mandar sebagai Pemohon Perkara 65 menyebut dua poin yang menjadi perbaikannya, yakni legal standing dan dasar pengajuan permohonan. “Pada dasarnya, beberapa hal perbaikan diawali dengan pemahaman kami tentang defisini pemilu. Di dalam Undang-Undang Dasar Tahun 1945 Pasal 22E menjelaskan tentang definisi pemilu serta dikuatkan oleh putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 97 tentang Definisi Pemilu dan Pilkada,” jelasnya.
Sebelumnya, Ahmad Irawan menyinggung keikutsertaan DPR dan Pemerintah dalam urusan kekuasaan penyelenggara pemilu, khususnya pada penyusunan regulasi. Menurutnya, ketentuan yang termaktub dalam Pasal 9 huruf a dan Pasal 22B huruf a UU Penyelenggara Pemilu yang mengharuskan penyelenggara pemilu berkonsultasi dengan DPR dan Pemerintah dalam hal penyusunan regulasi bertentangan dengan paradigma dan konsepsi negara hukum demokratis yang mensyaratkan adanya check and balance.
“Pada 1 Juli 2016 telah disahkan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016. Pasal 9 huruf a isinya menyebut KPU dan Bawasalu dalam menyusun dan menetapkan PKPU serta pedoman teknis setiap tahapan pemilihan sebelumnya harus berkonsultasi dengan DPR dan Pemerintah,” jelasnya.
Sementara, Muhammad Syukur Mandar menyinggung peran KPU sebagai penyelenggara pilkada, sebagaimana Pasal 1 angka 5, Pasal 8 ayat (3), dan Pasal 10 ayat (3) UU Penyelenggara Pemilu. Menurutnya, peran tersebut tidak sejalan dengan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 97/PUU-XI/2013.
“Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 97/PUU-XI/2013 menyebutkan, pemilihan gubernur, bupati, dan walikota adalah bukan merupakan pemilihan umum. Dengan demikian, kewenangan penyelenggara pemilu (KPU dan Bawaslu, red) menyelenggarakan pilkada sebagaimana diatur dalam pasal-pasal yang dimohonkan dalam pengujian ini adalah bertentangan dengan UUD 1945 dan inkonstitusional,” tegasnya.
(ars/lul)