Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang lanjutan uji materiil Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Mahkamah Agung (UU MA) dan UU No. 8 Tahun 2011 tentang Mahkamah Konstitusi (UU MK), Senin (19/9). Agenda sidang perkara Nomor 53/PUU-XIV/2016 adalah mendengar keterangan ahli yang dihadirkan oleh Pemerintah, mantan Hakim Konstitusi Maruarar Siahaan dan Harjono. Keduanya berpandangan perbedaan syarat pencalonan hakim agung melalui jalur karier dan nonkarier tidak diskriminatif.
Dalam sidang yang dipimpin Wakil Ketua MK Anwar Usman, Maruarar menjelaskan rumus diskriminasi, yaitu perlakuan berbeda terhadap hal yang sama. Bukan diskriminasi apabila hal yang sama diperlakukan sama dan hal yang berbeda diperlukan berbeda pula. Calon hakim agung dari jalur karier dan nonkarier, menurutnya, adalah berbeda sehingga perbedaan syarat pencalonan keduanya tidak dianggap bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Tahun 1945.
“Dari uraian di atas kita menyimpulkan calon hakim agung dari hakim karier tidaklah sama dengan calon hakim agung dari masyarakat umum, atau akademisi, atau kaum profesional lain, dan pensiunan. Oleh karena itu, syarat-syarat untuk dapat dicalonkan sebagai hakim agung yang berbeda bagi kedua kelompok tersebut bukanlah merupakan diskriminasi yang dilarang,” jelasnya.
Hakim Konstitusi Berbeda
Sementara, Harjono menyinggung dalil Pemohon yang meminta periodisasi Ketua MK dan hakim konstitusi disamakan dengan hakim agung. Menurutnya, banyak sekali perbedaan kedua profesi tersebut dalam berbagai aspek kendati sama-sama pelaku kekuasaan kehakiman.
“Teman di Mahkamah Agung itu jadi hakim dan status pegawainya jalan terus. Naik pangkat pegawainya jalan terus. Bu Maria, Pak Palguna ini status pegawai negerinya berhenti, beda sudah,” jelasnya merujuk pada dua orang hakim konstitusi yang juga merupakan dosen pada perguruan tinggi negeri.
Sebelumnya, Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Binsar M. Gultom dan Hakim Tinggi Pengadilan Tinggi Medan Lilik Mulyadi memohonkan uji materi Pasal 6B ayat (2) UU MA yang membolehkan calon hakim agung dari jalur nonkarier. Menurutnya, ketentuan tersebut tidak tepat karena hal yang menjadi tolak ukur dalam persyaratan profesi hakim bukan semata pendidikan akademisnya, tetapi juga pengalaman dan kompetensi hakim dalam mengadili serta memutus perkara di persidangan.
Selain itu, Pemohon beranggapan bahwa ketentuan Pasal 7 huruf a angka 4 dan angka 6 UU MA yang mengatur syarat hakim karier menjadi hakim agung dari segi usia dan pengalaman bersifat diskriminatif jika dibandingkan dengan syarat untuk hakim non karier. Pada ketentuan hakim karier, usia minimum hakim adalah 45 tahun dengan pengalaman menjadi hakim selama 20 tahun, termasuk pengalaman menjadi hakim tinggi minimal 3 tahun. Sementara, syarat hakim non karier pada Pasal 7 huruf b UU MA hanya menyatakan berpengalaman di bidang hukum selama 20 tahun tanpa dirinci secara tegas keahlian hukum di bidang hukum tertentu.
Selanjutnya, menurut Pemohon, ketentuan Pasal 7 huruf b angka 1, angka 2, angka 3 dan angka 4 UU MA telah merugikan hak-hak konstitusional Pemohon dan berpotensi menutup karier para hakim dari jalur karier yang puncak kariernya menjadi hakim agung. Selain itu, Pemohon juga menguji materi ketentuan periodisasi hakim konstitusi yang tertuang dalam UU MK. Pemohon menerangkan bahwa pembatasan masa jabatan bagi Ketua dan Wakil Ketua MK yang hanya 2 tahun 6 bulan, sebagaimana tercantum dalam Pasal 4 ayat (3) UU MK, bertentangan dengan UUD 1945 karena akan menghambat karier bagi hakim konstitusi yang berasal dari unsur Mahkamah Agung.
Berikutnya, Pemohon mempersoalkan ketentuan Pasal 22 UU MK mengenai pembatasan masa jabatan hakim konstitusi yang dinilai merugikan. Seharusnya, menurut Pemohon, sebagaimana hakim agung, tidak ada periodisasi jabatan bagi hakim konstitusi.
(ars/lul)