Tiga lembaga, yaitu Federasi Serikat Pekerja Pariwisata dan Sektoral Industri (FSP Paras Indonesia), Gerakan Kesejahteraan Nasional (Gekanas), dan Federasi Serikat Pekerja Rokok Tembakau Makanan Minuman Serikat Pekerja Seluruh Indonesia menyampaikan keterangan selaku Pihak Terkait dalam sidang perkara Pengujian Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (UU PPHI), Senin (19/9).
Supiandi selaku wakil dari FSP Paras Indonesia menyampaikan persetujuannya terhadap dalil Pemohon yang menyatakan pembatasan masa jabatan hakim ad hoc Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) mengganggu independensi hakim ad hoc PHI.
FSP Paras Indonesia membandingkan dengan keberadaan hakim ad hoc pada pengadilan pajak, pengadilan tata usaha negara, dan pengadilan niaga. Pasal 9 ayat (1) UU Pengadilan Pajak misalnya, menyatakan hakim ad hoc pengadilan pajak dapat diangkat menjadi hakim yang memerlukan keahlian khusus. Selain itu, Pihak Terkait yang sering beracara di PHI juga menyaksikan sendiri bahwa untuk menyelesaikan pekerjannya, hakim ad hoc PHI masuk kerja setiap hari.
“Terjadi sesat pikir dengan mengatakan hakim ad hoc PHI tidak bersifat tetap. Padahal senyatanya berdasarkan peraturan perundang-undangan, maupun berdasarkan kenyataan di lapangan (defacto), hakim ad hoc PHI bersifat tetap sebagaimana telah dikemukakan di atas. Oleh karena itu, seharusnya tidak dibatasi masa jabatannya berdasarkan periodisasi,” jelas Supiandi dalam sidang perkara Nomor 49/PUU-XIV/2016 yang dipimpin Wakil Ketua MK Anwar Usman.
Pendapat yang sama juga disampaikan oleh Andri selaku perwakilan dari Federasi Serikat Pekerja Rokok Tembakau Makanan Minuman Serikat Pekerja Seluruh Indonesia. Menurutnya, hakim ad hoc PHI dengan hakim ad hoc pajak memiliki persamaan secara substansi. Oleh karena itu, berdasarkan Pasal 27 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Dasar Tahun 1945, tidak boleh diberlakukan diskriminasi, khususnya dalam masa jabatan.
“Masa jabatan hakim ad hoc PHI harus sama dengan masa jabatan hakim pajak, dengan tidak semata berdasarkan periodisasi, sehingga Pasal 67 ayat (2) Undang-Undang PPHI harus dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat,” ujar Andri.
Tidak Bertentangan
Sementara itu M. Fandrian yang mewakili Gekanas menyatakan hal yang berkebalikan. Fandrian menyatakan bahwa tidak diaturnya masa jabatan hakim ad hoc dalam UUD 1945 merupakan kebijakan hukum terbuka (open legal policy). Dengan mempertimbangkan hal itu, Gekanas menyatakan ketentuan Pasal 67 ayat (2) UU PPHI tidak bertentangan dengan UUD 1945.
Selain itu, Gekanas juga menyatakan Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan a quo. Menurut Pihak Terkait, jabatan yang diperoleh Pemohon saat ini merupakan hasil rekomendasi dari serikat pekerja seperti Gekanas.
“Berdasarkan uraian kedudukan hukum Pemohon, Pihak Terkait berpendapat Pemohon tidak memiliki legal standing dalam mengajukan permohonan a quo karena sejatinya Pemohon merupakan perwakilan dari serikat pekerja yang diberikan kepercayaan atau rekomendasi oleh serikat pekerja/serikat buruh yang ada guna mengemban amanat untuk menjadi hakim ad hoc PHI,” ujar Fandrian.
Terkait perbedaan masa jabatan, Fandrian menguraikan bahwa perbedaan pengaturan masa tugas antara hakim ad hoc dengan hakim karier merupakan hal yang wajar. Sebab, keduanya memiliki sifat, karakter, dan kebutuhan atas jabatan yang berbeda. Oleh karena itu, Gekanas mengatakan tidak ada diskriminasi terkait pemberian masa jabatan antara hakim karier PHI dengan hakim ad hoc PHI.
Sebelumnya, Hakim Pengadilan Industrial Mustofa dan Sahala Aritonang merasa ketentuan Pasal 67 ayat (2) UU PPHI menimbulkan ketidakpastian hukum. Pemohon menilai pasal a quo telah mendiskriminasi para hakim ad hoc pada Pengadilan Hubungan Industrial. Seperti diketahui, pasal a quo menyatakan masa tugas hakim ad hoc untuk jangka waktu lima tahun dan dapat diangkat kembali untuk satu kali masa jabatan.
Menurut Pemohon, periodisasi semacam itu tidak diatur bagi hakim di lingkungan peradilan lainnya di bawah Mahkamah Agung (MA) sehingga menimbulkan diskriminasi bagi Pemohon. Periodisasi hakim ad hoc juga dianggap Pemohon menimbulkan masalah yang berkaitan dengan keberlanjutan penyelesaian, pemeriksaan, dan pemutusan perkara perselisihan hubungan industrial. Dengan periodisasi tersebut, Pemohon khawatir tidak dapat menuntaskan perkara perselisihan hubungan industrial yang seharusnya memberikan perlindungan yang adil bagi pekerja dan pemerintah. (Yusti Nurul Agustin/lul)