Sidang lanjutan perkara Pengujian Undang-Undang Pilkada No. 54/PUU-XIV/2016, No. 55/PUU-XIV/2016, dan No. 60/PUU-XIV/2016 digelar pada Kamis (15/9) di Ruang Sidang Pleno Mahkamah Konstitusi (MK). Komisioner KPU Ida Budhiati, Bakal Calon Guburner DKI Jakarta Yusril Ihza Mahendra, dan Habibburokhman selaku wakil Advokat Cinta Tanah Air hadir memberi keterangan selaku Pihak Terkait.
Ida Budhiati mewakili KPU memberikan keterangan sebagai Pihak Terkait terhadap Perkara No. 54/PUUXIV/2016 yang dimohonkan oleh Teman Ahok dkk. Sebelumnya, Teman Ahok dkk menggugat ketentuan dalam Pasal 41 ayat (1), ayat (2), ayat (3), Pasal 48 ayat (2) huruf b, ayat (7), dan ayat (9) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016. Ketentuan tersebut dianggap bersifat diskriminatif terhadap calon gubernur dan wakil gubernur, calon bupati dan wakil bupati, dan calon walikota dan wakil walikota dari jalur perseorangan. Teman Ahok dkk beralasan ketentuan a quo menghalang-halangi pendukung Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) yang pada pemilu sebelumnya belum memenuhi syarat memilih untuk memberikan dukungannya.
Menanggapi dalil tersebut, Ida menegaskan seluruh peraturan yang dibuat KPU sudah sesuai dengan undang-undang yang berlaku. Selain itu, Ida juga mengatakan lewat peraturan KPU, KPU juga menjamin hak pendukung calon perseorangan.
Jamin Hak Pendukung
Ida menyampaikan bahwa Pasal 41 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 merupakan pelaksanaan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 60/PUU-XIII/2015 yang menyatakan bahwa syarat dukungan calon perseorangan didasarkan pada jumlah penduduk yang mempunyai hak pilih dan termuat dalam daftar pemilih tetap pada pemilihan umum atau pemilihan sebelumnya yang paling akhir di daerah yang bersangkutan.
Untuk menjamin hak setiap warga negara yang memenuhi syarat untuk memberikan dukungan kepada pasangan calon perseorangan, Ida mengatakan UU Nomor 10 Tahun 2016 mengatur ketentuan peralihan mengenai syarat dukungan calon perseorangan. Ketentuan peralihan tersebut tercantum dalam Pasal 200A ayat (4) yang menyatakan bahwa syarat dukungan calon perseorangan maupun sebagai syarat terdaftar sebagai pemilih menggunakan KTP elektronik terhitung sejak bulan Januari Tahun 2019.
Mempertimbangkan ketentuan tersebut, KPU menuangkan kebijakan dalam Pasal 14 ayat (1) huruf a Peraturan KPU Nomor 5 Tahun 2016 tentang Pencalonan. Pasal tersebut menyatakan bahwa dokumen dukungan perseorangan berupa surat pernyataan dukungan dilampiri dengan kartu tanda penduduk atau surat keterangan yang diterbitkan oleh dinas kependudukan dan catatan sipil yang menerangkan bahwa penduduk tersebut berdomisili di wilayah administratif yang sedang menyelenggarakan pemilihan paling singkat 1 tahun dan tercantum dalam DPT pada pemilu atau pemilihan terakhir dan/atau daftar penduduk potensial pemilih.
“Kebijakan KPU sebagaimana tadi disampaikan, mempertimbangkan ketentuan Pasal 41, Pasal 200A ayat (4), dan Pasal II Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016, juga memperhatikan realitas sosial,” tegas Ida di hadapan Majelis Hakim yang dipimpin langsung oleh Ketua MK Arief Hidayat.
Realitas soal yang dimaksud oleh Ida, yaitu berdasarkan data DP-4 yang diterima KPU Republik Indonesia dari Kementerian Dalam Negeri setelah dilakukan analisis masih terdapat 5.296.758 pemilih yang belum KTP elektronik, dari 41.802.538 pemilih di 101 daerah yang menyelenggarakan pilkada tahun 2017.
Oleh karena itu, KPU memandang perlu menegaskan dalam peraturan tentang pencalonan terkait dengan semangat pembentuk undang-undang yang tercermin dalam ketentuan peralihan, yaitu menjamin pelaksanaan hak penduduk yang telah memenuhi syarat sebagai pemilih untuk memberikan dukungan pada pasangan calon perseorangan. Dalam kesempatan yang sama, Ida juga memberikan keterangan terkait dalil para Pemohon yang mempersoalkan hilangnya hak pendukung karena tidak dapat terverifikasi secara faktual. Pada pokoknya, KPU menjamin hak pendukung calon perseorangan.
“Menurut peraturan KPU tidak secara serta-merta menggugurkan dukungan dari sisi penelitian administratif. Namun, oleh KPU ditindaklanjuti untuk dilakukan verifikasi faktual oleh PPS,” tegas Ida.
Cuti Kampanye Petahana
Sementara itu, Yusril Ihza Mahendra dan Habiburokhman selaku Pihak Terkait terhadap perkara No. 60/PUU-XIV/2016 pada pokoknya menyatakan ketentuan wajib cuti kampanye bagi petahana sudah konstitusional. Perkara a quo dimohonkan oleh Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) selaku Gubernur DKI Jakarta.
“Tidak terdapat pertentangan norma antara norma undang-undang di dalam Pasal 70 ayat (3) huruf a tentang Kewajiban bagi Petahana dengan norma konstitusi dalam pasal-pasal a quo Undang-Undang Dasar Tahun 1945 Pasal 18 ayat (4) Undang-Undang Dasar Tahun 1945 berisi norma yang mengatur pemilihan kepala daerah yang wajib dilaksanakan secara demokratis. Tidak ada pertentangan norma apa pun antara norma undang-undang yang mewajibkan petahana untuk cuti jika maju di daerah yang sama dengan kewajiban kepala daerah dipilih secara demokratis,” tegas Yusril.
Selain itu, Yusril mengatakan perbandingan cuti kampanye untuk gubernur petahana dengan Presiden merupakan perbandingan yang tidak tepat, meski keduanya memiliki masa jabatan yangp sama selama 5 tahun. Sebabnya, kedua jabatan tersebut memiliki perbedaan kewenangan dan tanggung jawab. Presiden tidak diwajibkan cuti kampanye salah satunya karena memiliki kewenangangan untuk menyatakan perang, menyatakan keadaan bahaya dan lainnya yang tidak dimiliki seorang gubernur.
Hal yang sama juga disampaikan oleh 11 orang advokat yang mengatasnamakan Advokat Tanah Air. Kesebelah orang advokat yang diwakili oleh Habiburokhman itu menyatakan ketentuan cuti kampanye bagi petahana erat kaitannya dengan larangan bagi petahana untuk menggunakan fasilitas jabatan di masa kampanye.
“Cuti kampanye, saya menyebutnya demikian, diharuskan agar peluang petahana menggunakan fasilitas yang terkait dengan jabatannya semakin mengecil. Dengan adanya cuti di masa kampanye akan dengan mudah terdeteksi kalau petahana menggunakan fasilitas yang terkait dengan jabatannya. Sebaliknya, tanpa cutinya petahana di masa kampanye akan sangat sulit untuk memantau terjadinya penggunaan fasilitas yang terkait dengan jabatannya oleh petahana,” anggap Habiburokhman.
Meski sudah berlangsung selama empat kali, sidang ketiga perkara ini berjalan cukup alot. Diagendakan, pada sidang selanjutnya yang digelar 26 September 2016, Ahok akan menghadirkan tiga orang ahli untuk memperkuat gugatannya. Selanjutnya, Pemerintah maupun DPR juga memiliki kesempatan yang sama untuk menghadirkan ahli. (Yusti Nurul Agustin/lul)