Rusli Habibie, Gubernur Gorontalo yang juga terpidana kasasi kasus penghinaan mengajukan gugatan terhadap ketentuan syarat pencalonan kepala daerah dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota (UU Pilkada). Sidang perdana perkara No. 71/PUU-XIV/2016 itu digelar di Ruang Sidang Pleno Mahkamah Konstitusi (MK) pada Rabu (14/9).
Melalui kuasa hukumnya, Pemohon menyatakan ketentuan yang melarang terpidana mencalonkan diri sebagai kepala daerah yang bertentangan dengan UUD 1945, sekaligus menciderai hak konstitusionalnya sebagai warga negara yang memiliki hak untuk dipilih.
Untuk dipahami, Pemohon adalah Gubernur Gorontalo yang pada awal bulan Agustus 2016 mendapat putusan kasasi dengan pidana 1 tahun penjara dengan masa percobaan 2 tahun atas tuduhan melakukan penghinaan dan melanggar Pasal 317 ayat (1) KUHP. Dengan status barunya tersebut, Pemohon mempersoalkan Pasal 7 ayat (2) huruf g UU Pilkada yang mengatur larangan terpidana untuk mencalonkan diri sebagai kepala daerah. Pasal a quo berbunyi sebagai berikut.
Pasal 7
(2) “Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur, Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati, serta Calon Walikota dan Calon Wakil Walikota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
g. tidak pernah sebagai terpidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap atau bagi mantan terpidana telah secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana.”
Ketentuan a quo dinilai telah melanggar hak konstitusional Pemohon karena menghalangi Pemohon untuk maju kembali dalam pemilihan kepala daerah. Lebih detail, Pemohon merasa keberatan dengan bunyi frasa “karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan penjara 5 (lima) tahun atau lebih” dalam pasal tersebut.
Ketentuan tersebut menurut Pemohon sangat merugikan. Salah satunya diakibatkan perluasan cakupan tindak pidana. Semula, Pasal 7 huruf g UU No. 8 Tahun 2015 yang sudah dihapus hanya menyatakan perbuatan pidana yang diancam 5 tahun penjara saja. Namun, dalam Pasal 7 ayat (2) huruf g UU 10 Tahun 2016 cakupan tersebut diperluas dengan seluruh tindak pidana termasuk tindak pidana yang diancam percobaan penjara semata.
Pemberlakuan ketentuan yang berbeda dari Pilkada serentak 2015 ke Pilkada Serentak Tahun 2017 tersebut telah melanggar hak persamaan di dalam hukum dan pemerintahan sebagaimana dijamin dalam UUD 1945. Berdasarkan alasan tersebut Pemohon meminta Mahkamah untuk menyatakan ketentuan a quo inkonstitusional.
“Yang Mulia, semula berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 42/PUU/XIII/2016 yang menyatakan ketentuan Pasal 7 huruf g Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015, inkonstitusional bersyarat. Pemohon yang pernah didakwa atas tujuan melanggar tuduhan melanggar Pasal 317 ayat (1) dengan ancaman pidana kurang dari 5 tahun, masih dapat mencalonkan diri untuk satu periode lagi. Namun, dengan diberlakukannya ketentuan Pasal 7 ayat (2) huruf g di undang-undang yang baru Nomor 10 Tahun 2016, hak konstitusional Pemohon telah secara spesifik dan potensial pasti menjadi terhalang untuk maju dipilih menjadi kepala daerah,” urai Heru Widodo selaku kuasa hukum Pemohon di hadapan Hakim Konstitusi I Dewa Gede Palguna yang memimpin jalannya sidang didampingi oleh Hakim Konstitusi Manahan MP Sitompul dan Wahiduddin Adams.
Saran Hakim
Usai mendengar penjelasan Pemohon, panel hakim menyampaikan berbagai saran yang dapat digunakan untuk perbaikan permohonan. Salah satu saran disampaikan oleh Hakim Konstitusi Manahan MP Sitompul.
Manahan mengatakan bahwa permohonan Pemohon sebaiknya tidak dilandasi kepentingan politik semata. Seharunya, lanjut Manahan, Pemohon juga perlu melihat alur putusan Mahkamah terkait ketentuan yang sama.
“Jangan karena kepentingan politik yang saat ini dari si Pemohon, maka undang-undang itu pun mestinya harus diubah. Tapi coba dilihat alur dari putusan-putusan Mahkamah Konstitusi yang sebelumnya, bagaimana itu syarat-syarat yang 5 tahun tadinya atau ancaman minimal 5 tahun itu ya,” saran Manahan.
Hal yang sama juga disampaikan Wahiduddin Adams yang mengingatkan bahwa putusan Mahkamah jangan hanya dilihat amar putusannya saja, melainkan juga perlu dicermati pertimbangan hukum di dalamnya.
Sebelum menutup sidang, Palguna mengingatkan agar Pemohon menyerahkan perbaikan paling lambat 14 hari kerja ke Kepaniteraan MK. “Sesuai dengan hukum acara Mahkamah Konstitusi kepada Pemohon diberikan kesempatan untuk melakukan perbaikan permohonan dan terakhir perbaikan itu sudah harus kami terima pada hari Selasa, tanggal 27 September 2016, paling lambat pukul 10.00 WIB,” tutup Palguna. (Yusti Nurul Agustin/lul)