Sidang uji materiil Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak (UU Pengampunan Pajak/Tax Amnesty) kembali digelar, Rabu (14/9) di Ruang Sidang Mahkamah Konstitusi (MK). Dewan Pengurus Pusat Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (DPP SBSI), Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), dan Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI) tercatat sebagai pemohon perkara Nomor 63/PUU-XIV/2016 tersebut.
Dalam sidang dengan agenda perbaikan permohonan, Pemohon memperbaiki kedudukan hukum dan dalil-dalil permohonannya. Kedudukan Pemohon I adalah sebagai badan hukum privat yang mendalilkan Pasal 1 angka 1, Pasal 3 ayat 3, Pasal 4, Pasal 21 ayat 2, Pasal 22 dan Pasal 23 serta Pasal 23 ayat 2 UU Pengampunan Pajak melanggar hak konstitusional pemohon. Sedangkan Pemohon III, merupakan Dewan Pimpinan Pusat Partai Buruh (DPPPB). “Partai Buruh adalah partai politik yang didirikan pada 1 Mei 2001, yang menetapkan buruh sebagai konstituen utamanya. Berdasarkan Kongres Ketiga Partai Buruh, Soni Puji Sasono terpilih menjadi ketua umum dan Markus Tiwow terpilih menjadi sekretaris jenderal dewan pimpinan pusat untuk masa kerja 2010 sampai sekarang,” jelas Netty Saragih selaku kuasa hukum para pemohon.
Terkait dalil permohonan, para pemohon menjelaskan lahirnya UU Pengampunan Pajak justru memberi kemudahan serta pengampunan pajak kepada wajib pajak atas pajak terutang. Seharusnya, lanjut Pemohon, para wajib pajak terutang itu diberikan hukuman yang setimpal, bahkan pajak terutangnya hanya ditebus dengan nilai yang jauh di bawah kewajiban pajak yang seharusnya sebagaimana telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.
Dalam permohonannya, pemohon mendalilkan UU Pengampunan Pajak menciderai rasa keadilan buruh sebagai pembayar pajak. Buruh dikenai tindakan ketat wajib membayar pajak yang pembayarannya dilakukan pengusaha. Hal itu ditambah pemerintah telah mengeluarkan PP No. 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan, yang menyatakan upah dikembalikan lagi kepada rezim upah murah dengan menghilangkan hak berunding serikat pekerja/serikat buruh dan sanksi pembayar upah di bawah UMP diperingan dari pidana menjadi sanksi administrasi.
Selain itu, para pemohon juga berpendapat UU Pengampunan Pajak mengakibatkan para pengusaha pengemplang pajak akan diampuni hukumannya baik itu administrasi maupun pidana yang jelas sehingga menciderai rasa keadilan buruh yang selama ini patuh membayar pajak. Para Pemohon juga mendalilkan UU Pengampunan Pajak tidak sesuai dengan fakta yang menunjukkan penerimaan pajak di Indonesia yang masih rendah, tidak ada jaminan setelah adanya pengampunan pajak, pengusaha di masa mendatang akan taat membayar pajak.
Oleh karena itu, dalam petitumnya, pemohon meminta MK untuk mengabulkan permohonan pemohon dan menyatakan pasal-pasal tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat dan bertentangan dengan UUD 1945. (Lulu Anjarsari/lul)