September baru saja datang, Mahkamah Konstitusi (MK) kembali dikunjungi tamu. Kali ini, sekira 40 orang guru yang tergabung dalam Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) SMP se-Kabupaten Sumedang berkunjung untuk memperkaya ilmu terkait persoalan ketatanegaraan, konstitusi, dan MK. Bertempat di Aula Lantai Dasar Gedung MK, para guru berseragam batik merah tersebut disambut langsung oleh Panitera Muda II MK Muhidin yang sekaligus menyampaikan paparan materi.
Mengawali paparannya, Muhidin menyampaikan setelah perubahan UUD 1945, lembaga-lembaga negara dalam sistem ketatanegaraan Indonesia mengalami perubahan struktur. Bila sebelumnya dikenal lembaga tertinggi negara, lembaga tinggi negara, atau lembaga negara saja, setelah perubahan UUD 1945 semua lembaga negara memiliki posisi yang sejajar. Perbedaan hanya terletak pada fungsi masing-masing lembaga.
Sembari menunjukkan slide presentasi, Muhidin menunjukkan bahwa saat ini baik DPR selaku pemegang kekuasaan legislatif, Presiden selaku pemegang kekuasaan eksekutif, maupun MA dan MK selaku pemangku kekuasaan yudikatif memiliki kedudukan yang sejajar dalam hierarki ketatanegaraan Indonesia. MA dan MK misalnya, memiliki kedudukan yang sejajar, namun yang membedakan keduanya adalah fungsi dan kewenangannya.
Selain itu, Muhidin juga menyontohkan bahwa dalam penyusunan suatu undang-undang, DPR tidak mengerjakannya sendiri. Bersama-sama dengan Pemerintah/Presiden, DPR menyusun draft undang-undang. “Maka dari itu, saat persidangan perkara Pengujian Undang-Undang, selain Pemohon, ada DPR dan Pemerintah yang memberikan pendapat selaku pembentuk undang-undang,” jelas Muhidin yang didampingi Euis Royani selaku ketua MGMP Pkn SMP se-Kabupaten Sumedang, Jumat (9/9).
Dalam kesempatan yang sama Muhidin juga menjelaskan mengenai kewenangan MK. Sesuai ketentuan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945, Mahkamah Konstitusi memiliki 4 kewenangan dan 1 kewajiban. Kewenangan dan kewajiban dimaksud, yaitu menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (PUU), memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (SKLN), memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum. Sedangkan satu kewajiban yang dimiliki MK yakni memberikan putusan terhadap atas pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran berat.
Terkait kewenangan untuk memutus sengketa Pemilu, sebelumnya MK juga diberi kewenangan untuk memutus sengketa pilkada (pemilihan umum kepala daerah). Saat menangani sengketa pilkada itu, MK pernah terpuruk karena terjerat kasus korupsi yang dilakukan salah satu oknum hakim konstitusi. Merasa perlu “menyelamatkan” MK, sekelompok orang pada saat itu mengajukan pengujian undang-undang yang pada pokoknya meminta MK untuk tidak berwenang lagi mengadili sengketa pilkada.
Mengomentari peristiwa itu, Muhidin mengatakan sikap setujunya. Menurut Muhidin, memang sudah semestinya MK tidak mengadili sengketa pilkada. Selain memang kewenangan untuk itu tidak dicantumkan secara jelas dalam UUD 1945, Muhidin berpendapat seharusnya MK tidak memutus perkara konkret semacam itu.
“Saat itu MK memutus bahwa memang memutus sengketa pilkada bukan kewenangan MK lagi. Namun UU Pilkada berubah lagi, kemudian diputuskan bahwa sampai terbentuknya badan khusus yang menangani perselisihan pemilihan kepala daerah, maka MK masih harus menanganinya,” jelas Muhidin.
Selain itu, Muhidin juga memaparkan berbagai materi lain seputar sejarah terbentuknya MK di dunia di Indonesia, syarat menjadi hakim konstitusi, dan berbagai peristiwa aktual terkait hal-hal tersebut.
Sebelum menutup paparannya, Muhidin berkelakar bahwa siapa tahu salah satu guru PKn dari Sumedang yang hadir dalam ruangan tersebut akan menjadi Hakim Konstitusi di masa mendatang. Menyambut kelakar tersebut, salah satu peserta yang hadir menanyakan apakah mungkin para guru yang tidak memiliki latar belakang pendidikan sarjana hukum dapat menjadi Hakim Konstitusi.
“Nah, saya tunggu Bapak Ibu untuk mengajukan pengujian undang-undang terkait hal itu. Nanti saya yang terima langsung permohonannya,” tukas Muhidin sembari disambut riuh tawa para peserta. (Yusti Nurul Agustin/lul)