Kamis (8/9), Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menggelar sidang Pengujian Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana atau Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang dimohonkan 12 orang warga negara Indonesia. Koalisi Perempuan Indonesia (KPI), Yayasan Peduli Sahabat (YPS), dan Persatuan Islam Istri (Persistri) hadir sebagai Pihak Terkait dalam sidang kedelapan perkara No. 46/PUU-XIV/2016. Ketiganya menyampaikan tanggapan masing-masing terhadap dalil Pemohon mengenai sudah tidak relevannya pasal zina, pasal perkosaan, dan pasal pencabulan dalam KUHP.
Keterangan tiga Pihak Terkait tersebut menggambarkan adanya dua kubu besar dalam sidang perkara a quo. Kubu pertama meminta Mahkamah menyatakan menolak permohonan para Pemohon dengan dalih kemanusiaan. Dengan dalih yang sama, kubu berlawanan justru meminta Mahkamah menyatakan mengabulkan permohonan para Pemohon. Meski demikian, kedua kubu menyampaikan keterangan dengan pendekatan berbeda.
Sekretaris Jenderal KPI Pusat, Dian Kartika Sari memberikan keterangan dan meminta Mahkamah menolak permohonan para Pemohon. Dian beralasan perubahan pasal-pasal KUHP yang dimohonkan oleh para Pemohon justru menimbulkan kerugian yang lebih besar terhadap perempuan dan keluarga. Sebab, perubahan pasal terkait perzinaan, perkosaan, dan pencabulan justru memperbesar kewenangan negara dan masyarakat untuk campur tangan terhadap kehidupan keluarga dan kehidupan pribadi seseorang.
Terkait keinginan para Pemohon yang meminta ketentuan perzinaan dalam Pasal 284 ayat (1) butir 1a, 1b, 2a, 2b KUHP dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, Dian menyampaikan hal tersebut dapat menimbulkan berbagai akibat hukum. Misalnya penghapusan frasa “yang telah kawin” dalam ketentuan pidana terhadap laki-laki maupun perempuan yang melakukan perzinaan.
Penghapusan frasa tersebut, menurut KPI, mengandung makna ada perluasan subjek hukum yang dapat dipidana bila melakukan perzinaan. Artinya, setiap orang tanpa memandang status perkawinannya bila melakukan perbuatan zina, maka mereka akan dipidana. Perluasan subjek hukum tersebut dikhawatirkan dapat meningkatkan jumlah tindak kriminal dan kemudian berpengaruh pada indikator kriminalitas nasional juga statistik nasional Indonesia.
Perubahan Delik Aduan
KPI juga mengkhawatirkan perluasan subjek hukum pada pasal perzinaan akan mengakibatkan perubahan delik aduan menjadi delik biasa. Selama ini KPI memperoleh fakta perbuatan perzinaan jarang dilaporkan lewat delik aduan oleh pasangan dari suami atau istri yang melakukan perzinaan. Hal itu dilakukan karena pasangan hendak menyelamatkan rumah tangga, menyelamatkan masa depan anak, atau disebabkan berbagai alasan lainnya.
Bila pasal perzinaan diperluas subjek hukumnya yang membawa konsekuensi perubahan delik aduan menjadi delik biasa, maka artinya setiap orang dapat melaporkan perbuatan zina seseorang yang lain. Aparat, seperti yang diyakini KPI, juga dapat masuk dalam kehidupan setiap orang untuk melakukan penindakan hukum atas tindak pidana zina.
Padahal, turut campurnya banyak pihak termasuk aparat ke dalam persoalan rumah tangga seseorang diyakini KPI justru dapat berdampak luas terhadap keutuhan rumah tangga terpidana zina. “Otonomi keluarga untuk menentukan pilihan-pilihan terbaik bagi keluarga dan upaya-upaya terbaik untuk mempertahankan keluarga seketika itu hilang ketika delik aduan dihapuskan. Oleh karena, mereka kemudian harus menanggung beban kerugian dan penderitaan, seperti kehilangan nafkah, kehilangan harga diri di mata masyarakat dan keluarga, dan kehilangan kesempatan untuk mempertahankan ketahanan dan kesejahteraan keluarga atas tindakan hukum yang dilakukan oleh aparat atau pihak yang lain yang melaporkan,” ungkap Dian khawatir.
Menimbulkan Diskriminasi
Dalam petitum permohonan Perkara Nomor 46/PUU-XIV/2016, Pemohon mengajukan permohonan terhadap Pasal 285 KUHP agar kata “wanita” dalam pasal tersebut dihapuskan. Dengan demikian, pasal a quo menjadi berbunyi, “Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang bersetubuh dengan dia di luar perkawinan, diancam karena melakukan perkosaan dengan pidana penjara paling lama 12 tahun.”
Perubahan tersebut, menurut KPI, justru menimbulkan diskriminasi. Sebabnya, perubahan terhadap Pasal 285 sebagaimana dimohonkan oleh Pemohon memiliki makna bahwa perkosaan dapat dilakukan oleh orang yang memiliki orientasi heteroseksual dan orientasi homoseksual.
Rumusan tersebut menurut KPI tetap tidak efektif untuk menjerat pelaku tindak pidana perkosaan. Karena hingga saat ini, KPI meyakini bahwa tindakan bersetubuh dimaknai sebagai tindakan memasukkan kelamin pelaku terhadap kelamin korban. Dengan pengertian sebatas tindakan penetrasi tersebut, KPI khawatir tindakan perkosaan terhadap sesama jenis yang tidak memenuhi unsur penetrasi kelamin tidak akan dikategorikan sebagai perkosaan.
“Terbatasnya pengertian ini mengakibatkan modus operandi perkosaan selain penetrasi atau masuknya kelamin laki-laki ke kelamin perempuan tidak diakui dan tidak dipidana perkosaan. Misalnya, pemaksaan hubungan seks melalui anus atau mulut. Sehingga kalaupun permohonan yang disampaikan oleh Pemohon dikabulkan, korban kejahatan perkosaan sesama jenis tetap tidak dapat memperoleh keadilan karena tindakan pelaku terhadap korban tidak dimaknai sebagai tindakan memaksa bersetubuh,” urai Dian.
Dalam petitum permohonannya, para Pemohon juga meminta agar kata “dewasa” dihapus dari dalam Pasal 292 KUHP yang berbunyi, “Orang dewasa yang melakukan perbuatan cabul dengan orang lain sesama kelamin, yang diketahuinya atau sepatutnya harus diduganya belum dewasa, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun”. Pemohon meminta pasal tersebut diubah menjadi, “Orang yang melakukan perbuatan cabul dengan orang lain sesama kelamin diancam dengan pidana paling lama 5 tahun.”
Penghapusan frasa a quo menurut KPI juga menimbulkan diskriminasi terhadap pelaku homoseksual. KPI beralasan, rumusan pasal pencabulan yang dimohonkan para Pemohon mengandung makna bahwa orang dewasa yang melakukan perbuatan cabul sesama jenis dengan orang dewasa dapat dikategorikan sebagai tindak pidana pencabulan.
KPI takut bila rumusan pasal pidana pencabulan yang diminta para Pemohon dikabulkan maka setiap orang dewasa yang memiliki orientasi seksual sesama jenis dapat dikategorikan sebagai penjahat. Artinya, KPI yakin bahwa rumusan pasal pencabulan versi Pemohon dapat mengkriminalisasi para pelaku homoseksual.
“Jika pemidanaan dimaksudkan untuk menghentikan atau mengubah orientasi seksual seseorang, maka penjara bukanlah tempat yang ideal baginya karena menempatkan mereka di dalam penjara justru akan membuat mereka menjadi korban kekerasan dan sasaran tindak kekerasan seksual,” tegas Dian sembari mengakhiri keterangannya.
Hindari Penyimpangan Seksual
Sementara itu, YPS dan Persistri selaku penggerak bidang sosial, keagamaan, pendidikan, dan kemanusiaan menyampaikan pendapat yang berseberangan dengan KPI. Kedua lembaga tersebut dengan tegas meminta Mahkamah mengabulkan permohonan para Pemohon demi menyelamatkan generasi bangsa dari berbagai penyimpangan perilaku seksual.
Diwakili oleh Agung Sugiarto, YPS menegaskan pada awalnya di dunia hanya ada identitas hidup heteroseksual karena memang pada dasarnya manusia diciptakan sepasang berlainan jenis. Namun seiring berkembanganya zaman, ada sekelompok orang yang menginginkan identitas selain heteroseksual (nonheteroseksual).
Menghadapi keberadaan kelompok nonheteroseksual, YPS melakukan upaya pendampingan untuk mengembalikan identitas asal manusia sebagai kaum heteroseksual. Namun, upaya tersebut menurut Agung kerap terhalang oleh implementasi pasal a quo. “Bahwa kerugian yang timbul akibat implementasi Pasal 28 dan sebagainya itu, banyaknya propaganda mengenai perilaku tindakan pencabulan sesama jenis melalui media sosial, seperti grup-grup rahasia di Facebook, berbagai iklan aplikasi LGBT sebagai contohnya. Para klien Peduli Sahabat dengan kecanduan pornografi yang sedang dalam masa pendampingan juga merasa dirugikan atas maraknya situs-situs perzinaan seperti pornografi yang mudah diakses oleh siapa pun, tidak memandang umur, latar belakang, pendidikan, maupun jenis kelamin,” urai Agung.
Hal serupa juga disampaikan Titin Suhartini yang mewakili Persistri. Dengan lantang Titin mengatakan pasal-pasal yang tengah diuji kali ini jelas bertentangan dengan dasar negara Indonesia, terutama Pasal 28B, Pasal 28G, dan Pasal 28J UUD 1945. Terlebih, saat ini menurut paparan yang Titin sampaikan, Indonesia tengah mengalami darurat kekerasan seksual dan degradasi moral yang luar biasa. Oleh karena itu, ketentuan pidana perizinan, perkosaan, dan pencabulan dalam KUHP sudah selayaknya diubah sesuai kebutuhan zaman. (Yusti Nurul Agustin/lul)