Mahkamah Konstitusi menggelar sidang perbaikan permohonan uji materiil Undang-Undang No. 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran. Sidang perkara No. 62/PUU-XIV/2016 tersebut digelar Kamis (8/9), di ruang sidang MK. Pemohon, Arie Andyka hadir langsung dalam persidangan yang dipimpin Hakim Konstitusi I Dewa Gede Palguna.
Dalam persidangan, Arie menuturkan pihaknya belum menyerahkan perbaikan permohonan sesuai saran Majelis Hakim pada sidang sebelumnya. “Pada kesempatan kali ini Yang Mulia, saya menyampaikan permohonan maaf. Pemohon yang lain belum bisa hadir di sidang, jadi hanya saya. Permohonan maaf kami juga tentang perbaikan yang diberikan batas tanggal sampai 7 September belum kami masukkan. Terima kasih, Yang Mulia,” ucap Arie selaku Pemohon.
Menanggapinya, Palguna menyatakan Mahkamah akan memeriksa berkas perkara yang pertama kali diterima pada sidang pendahuluan. Mengenai nasib permohonan Pemohon, Majelis Hakim akan memutuskan perlu tidaknya permohonan tersebut dilanjutkan ke sidang pleno atau langsung diputus oleh sembilan hakim tanpa sidang pleno.
“Baik, kalau begitu sesuai dengan yang sudah kami sampaikan pada waktu pemeriksaan pendahuluan pertama. Karena tidak ada perbaikan sampai pada hari ini, pada jam yang ditentukan ternyata belum ada perbaikan, berarti permohonan inilah yang akan kami terima sebagai permohonan dari Saudara. Permohonan ini pula yang akan kami sampaikan ke Rapat Permusyawaratan Hakim pada saatnya,” ujar Palguna.
Pada sidang pemeriksaan pendahuluan, Pemohon mendalilkan bahwa proses pemilihan anggota Komis Penyiaran Indonesia (KPI) dalam ketentuan Pasal 10 ayat (2) dan Pasal 61 ayat (2) UU Penyiaran tidak mengenal mekanisme panitia seleksi. Apabila DPR membentuk panitia seleksi, tugas panitia seleksi tersebut terbatas pada pemeriksaan kelengkapan administratif calon yang diusulkan oleh masyarakat.
Pemohon berdalih, telah terjadi kekeliruan dalam proses seleksi. Misalnya, pemerintah terlibat sejak awal pada seleksi calon anggota KPI periode kelima. Sedangkan norma Pasal 61 ayat (2) UU Penyiaran menyatakan pemerintah hanya terlibat pada pembentukan KPI yang pertama.
Pemohon merasa dirugikan lantaran Pemohon adalah calon anggota KPI berdasarkan usulan masyarakat yang tersingkir akibat keputusan subjektif panitia seleksi. Persyaratan menjadi anggota KPI tercantum dalam Pasal 10 ayat (1) UU Penyiaran. Namun panitia seleksi menambahkan batas minimum dan maksimum bagi calon anggota KPI yang tidak tercantum dalam Pasal 10 ayat (1) UU Penyiaran.
Kekeliruan dalam menafsirkan mekanisme pemilihan anggota KPI Pusat Periode 2016-2019, menurut Pemohon, dapat berpotensi menghasilkan anggota KPI Pusat yang sesungguhnya tidak mewakili masyarakat dan tidak independen, yang tidak sesuai dengan hakikat dan prinsip KPI sebagai lembaga negara yang bersifat independen. (ars/lul)