Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan Mahasiswa Pascasarjana Teknik Industri Institut Sains dan Teknologi Nasional (ISTN) Jakarta Muhammad Sabar Musman tidak miliki legal standing (kedudukan hukum) untuk mengajukan permohonan perkara Pengujian Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2007 tentang Energi (UU Energi). Sebab, Mahkamah tidak menemukan kerugian konstitusional yang dialami Pemohon akibat berlakunya Pasal 12 ayat (1) hingga ayat (5) dan Pasal 26 ayat (1) hingga ayat (4) UU Energi.
“Mengadili, menyatakan permohonan Pemohon tidak dapat diterima,” ujar Ketua MK Arief Hidayt mengucapkan amar putusan didampingi delapan hakim konstitusi lainnya, Rabu (7/9) di ruang sidang MK.
Hal tersebut diungkap Mahkamah dalam sidang pengucapan putusan Perkara No. 50/PUU-XIV/2016. Sebelumnya, Musman menjelaskan alasannya menggugat pasal a quoadalah agar rakyat mengetahui hak-hak public service obligation yang esential di bidang energi dan transportasi. Saat ini, menurutnya, kondisi inefisiensi energi tidak ditangani dengan baik oleh UU Energi.
Selain itu, Musman juga meminta agar dibentuk komisi energi nasional yang mempunyai kewenangan konstitusional. Kewenangan komisi energi yang diatur langsung dalam konstitusi menurut Musman penting untuk menyelaraskan dengan tujuan perekonomian nasional.
Tidak Miliki Kedudukan Hukum
Hakim Konstitusi I Dewa Gede Palguna menyampaikan pertimbangan hukum Mahkamah dalam putusan perkara a quo. Salah satu pertimbangan Mahkamah adalah ketentuan dalam Pasal 51 ayat (1) UU MK beserta Penjelasan mengenai syarat yang harus dipenuhi untuk memperoleh legal standing dalam perkara PUU.
Setelah memeriksa permohonan Pemohon, Mahkamah melihat dalam permohonan awal, Pemohon sama sekali tidak menguraikan atau menjelaskan apa hak konstitusionalnya yang dirugikan oleh berlakunya UU Energi. Saat sidang pendahuluan, panel hakim pun memberikan nasihat agar Pemohon menjelaskan kerugian konstitusional dimaksud.
Sesuai saran hakim, Pemohon pun memperbaiki permohonannya dengan menyebut bahwa hak konstitusionalnya yang diatur dalam Pasal 28C ayat (2) UUD 1945 telah dilanggar oleh ketentuan dalam UU Energi. Pasal 28C ayat (2) UUD 1945 menyatakan, “Setiap orang berhak untuk memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa, dan negaranya”. Pemohon menyatakan bahwa UU Energi telah dan akan merugikan kepentingan bangsa, negara, dan rakyat Indonesia.
Meski demikian, Mahkamah belum menemukan kaitan antara dalil kerugian hak konstitusional dan norma undang-undang yang dimohonkan untuk diuji oleh Pemohon. Meski telah dilakukan cara lainnya untuk menemukan kerugian hak konstitusional Pemohon dengan mengaitkan langsung dengan pokok permohonan, Mahkamah tetap tidak menemukan kerugian konstitusional yang dialami Pemohon akibat berlakunya Pasal 12 dan Pasal 26 UU Energi.
“Dengan memerhatikan secara cermat rumusan Pasal 12 dan Pasal 26 UU Energi tersebut, Mahkamah sama sekali tidak menemukan bahwa kedua norma UU Energi yang dimohonkan pengujian tersebut telah atau berpotensi merugikan hak Pemohon untuk memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa, dan negaranya, sebagaimana diatur dalam Pasal 28C ayat (2) UUD 1945,” urai Palguna membacakan penggalan putusan setebal 30 halaman tersebut.
(Yusti Nurul Agustin/lul)