Mahkamah Konstitusi (MK) menolak seluruh permohonan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) yang meminta “payung hukum” untuk menjual seluruh saham bank gagal yang telah diselamatkan LPS. Makamah menegaskan frasa “seluruh saham bank” dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan (UU LPS) tidak memerlukan pemaknaan baru. Hal tersebut terungkap dalam putusan Perkara No. 53/PUU-XIII/2015, Rabu (7/9) di Ruang Sidang Pleno MK.
Medio 2015 lalu, LPS diwakili Fauzi Ichsan selaku Pelaksana Tugas Kepala Eksekutif LPS memohonkan uji materiil tiga pasal dalam UU LPS. Ketiga pasal dimaksud, yaitu Pasal 30 ayat (1), Pasal 38 ayat (1), Pasal 42 ayat (1) UU LPS yang mengatur bahwa LPS wajib menjual saham bank yang diselamatkan (saham bank gagal, red).
Berikut bunyi lengkap ketiga pasal tersebut.
Pasal 30
(1) LPS wajib menjual saham bank yang diselamatkan dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun sejak penyerahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25
Pasal 38
(1) LPS wajib menjual seluruh saham bank dalam penanganan paling lama 3 (tiga) tahun sejak penyerahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 huruf a
Pasal 42
(1) LPS wajib menjual seluruh saham bank dalam penanganan paling lama 3 (tiga) tahun sejak dimulainya penanganan Bank Gagal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39
Ketiga pasal tersebut menurut Pemohon tidak memberikan kepastian hukum. Sebab, dalam penjelasan pasal-pasal tersebut tidak dicantumkan penjelasan makna dari frasa “seluruh saham bank”.
Selain itu, Pemohon lewat kuasa hukumnya Refly Harun juga menyatakan frasa “seluruh saham bank” bersifat multitafsir. Frasa tersebut dapat diartikan sebagai seluruh saham bank milik LPS atau seluruh saham milik LPS maupun milik pemegang saham lama termasuk pemegang saham yang membeli saham bank di pasar modal. Dengan ketidakpastian tersebut, LPS merasa mengalami hambatan dalam menjalankan tugas dan wewenangnya untuk menjual saham bank yang diselamatkan maupun saham bank dalam penanganan oleh LPS.
Refly pun menguraikan alasan kebimbangan yang dialami LPS. Sesuai praktik, saat LPS mengambil alih bank gagal, maka LPS menguasai mayoritas saham hingga lebih dari 99 persen. Dengan jumlah saham tersebut, LPS mengalami kebingungan terkait kewajiban menjual seluruh saham bank gagal yang dikuasai LPS saja atau seluruh saham yang berjumlah sedikit yang dimiliki publik lewat pembelian di bursa saham.
Pengambilalihan Saham
Terhadap pokok permohonan Pemohon, Mahkamah berpendapat pengambilalihan saham oleh LPS hanya dapat dilakukan terhadap hak Pemegang Saham Pengendali (PSP) pada bank gagal. Sedangkan saham milik masyarakat yang dibeli di pasar modal tidak termasuk dalam saham yang diambil alih LPS yang kemudian dapat dijual.
Pendapat tersebut dinyatakan Mahkamah setelah mempertimbangkan berbagai peraturan terkait peralihan kepemilikan. Antara lain, Pasal 28H ayat (4) UUD 1945 mengamanatkan bahwa hak milik pribadi merupakan hak asasi yang tidak boleh diambil alih secara sewenang-wenang oleh siapa pun. Selain itu, Mahkamah juga mengingatkan bahwa pengambilan atau pengalihan hak pemegang saham atas saham yang dimiliki harus tetap memenuhi unsur perlindungan kepada pemiliknya serta tidak dilakukan dengan cara semena-mena
Menukil bunyi Pasal 7 UU Penanaman Modal, Mahkamah menyatakan perlindungan yang sama juga diberikan dalam proses pengambilalihan hak kepemilikan penanam modal secara langsung oleh pemerintah. Meski untuk kepentingan negara, pelaksanaan pengambilalihan harta kebendaan oleh negara harus memenuhi syarat yang diatur dalam undang-undang.
Hal yang sama juga harus diperhatikan dalam penanganan bank dalam UU LPS. Bank yang dapat ditangani oleh LPS adalah bank yang menjadi peserta penjaminan LPS yang harus memenuhi persyaratan, antara lain pernyataan dari PSP untuk melepaskan hak kepemilikan apabila bank menjadi bank gagal dan diputuskan untuk diselamatkan.
Pemaknaan
Bila dikaitkan dengan makna frasa “seluruh saham bank” dalam Pasal 30 ayat (1), Pasal 38 ayat (1), dan Pasal 42 ayat (1) UU LPS, Mahkamah menyimpulkan bahwa frasa tersebut tidak dapat diartikan sebagai 100 persen saham bank yang diambilalih oleh LPS. Sebab, LPS bukan menjadi satu-satunya pemegang saham atas bank gagal dimaksud.
Menurut Mahkamah, frasa yang sama juga tidak dapat diartikan sebagai seluruh saham termasuk saham publik. Sebab, pemaknaan yang demikian secara tidak langsung merupakan pengambilalihan secara paksa oleh negara yang tidak memperhatikan asas-asas kemanusiaan, keadilan, kemanfaatan, kepastian, keterbukaan, kesepakatan, keikutsertaan, kesejahteraan, keberlanjutan dan keselarasan bagi pemiliknya dan hal ini bertentangan dengan Pasal 28G ayat (1) UUD 1945 juncto Pasal 28H ayat (4) UUD 1945.
Dengan demikian, Mahkamah menegaskan bahwa tidak diperlukan pemaknaan baru atas pasal dan/atau ayat yang dimohonkan pengujian konstitusionalitasnya oleh Pemohon tersebut. “Dengan demikian, Mahkamah berpendapat pengujian konstitusionalitas Pasal 30 ayat (1), Pasal 38 ayat (1), dan Pasal 42 ayat (1) UU LPS yang dimohonkan oleh Pemohon tidak beralasan menurut hukum,” ujar Hakim Konstitusi Maria Farida Indrati membacakan nukilan pertimbangan hukum Mahkamah. (Yusti Nurul Agustin/lul)