Mahkamah Konstitusi (MK) tidak dapat menerima pengujian Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU PPP) yang dimohonkan oleh beberapa pemohon perseorangan. Putusan dengan Nomor 59/PUU-XIII/2015 tersebut dibacakan oleh Ketua MK Arief Hidayat dengan didampingi delapan hakim konstitusi lainnya.
“Menyatakan permohonan para Pemohon tidak dapat diterima,” ucap Arief, Rabu (7/9) di ruang sidang MK.
Dalam permohonannya, para Pemohon keberatan terhadap keberadaan Pasal 1 TAP MPR Nomor XVIII/MPR/1998, yang oleh TAP MPR Nomor I/MPR/2003 dikualifikasikan dalam kategori VI. Menurut para Pemohon, Pasal 1 TAP MPR Nomor XVIII/MPR/2008 seharusnya dikualifikasikan dalam kategori yang dinyatakan tetap berlaku dengan alasan Pasal 1 tersebut merupakan penetapan penegasan deklaratif atas keberadaan Pancasila sebagai dasar negara dan bukan merupakan TAP MPR RI yang bersifat sekali selesai (einmalig). TAP MPR tersebut juga bukan merupakan ketentuan yang telah dicabut maupun telah selesai dilaksanakan.
Setelah mencermati permohonan tersebut, Mahkamah menyimpulkan sesungguhnya yang dikhawatirkan oleh para Pemohon adalah tiadanya penegasan formal bahwa Pancasila adalah dasar negara. Terhadap kekhawatiran demikian Mahkamah memandang penting untuk menegaskan bahwa kekhawatiran tersebut tidak perlu ada.
Menurut Mahkamah, hal tersebut telah diatur melalui Pasal II Aturan Tambahan UUD 1945 yang menyatakan “Dengan ditetapkannya Perubahan Undang-Undang Dasar ini, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia terdiri atas pembukaan dan pasal-pasal”. “Sementara itu pembukaan UUD 1945 khususnya alinea keempat secara substantif memuat Pancasila sebagai dasar negara,” ujar Hakim Konstitusi Manahan Sitompul yang membacakan Pendapat Mahkamah.
Oleh karena itu, lanjut Manahan, yang tunduk pada ketentuan tentang perubahan Undang-Undang Dasar adalah hanya pasal-pasal UUD 1945, tidak termasuk Pembukaan UUD 1945. Pancasila adalah bagian tidak terpisahkan dari Pembukaan UUD 1945, maka dengan sendirinya tidak terdapat ruang untuk secara konstitusional mengubah Pancasila sebagai dasar negara.
Sementara itu, berkenaan dengan permohonan para Pemohon yang sebagaimana tertuang pada angka 4 dan angka 5 petitum bukanlah merupakan kewenangan Mahkamah, sebab para Pemohon pada dasarnya meminta agar MPR melakukan legislative review yang oleh para Pemohon disebut “Parlemen Review”.
“Menimbang bahwa dari uraian dan pertimbangan tersebut di atas, maka menurut Mahkamah permohonan para Pemohon kabur (obscuur libel), baik mengenai kedudukan hukum (legal standing) para Pemohon maupun pokok permohonan. Namun seandainya yang dimaksud oleh para Pemohon ingin menguji TAP MPR maka hal tersebut bukan merupakan kewenangan Mahkamah,” tandas Manahan.
Permohonan ini diajukan oleh Wawan Hendriyanto, Robby Iwan Setiawan, Roni Agustinus Tri Prasetyo, Edi Firmanto,Trijono Hardjono, Nasirudin, Saiful Pristianto, Yudi Latif, Adhie M. Massardi, dan Ratna Sarumpaet. Norma yang diujikan, yaitu Penjelasan Pasal 7 ayat (1) huruf b.
Pemohon merasa hak konstitusionalnya merasa dirugikan dan/atau berpotensi dirugikan dalam bela negara atas diberlakukannya Penjelasan Pasal 7 ayat (1) huruf b UU Nomor 12 Tahun 2011. Kerugian tersebut berupa hilangnya dokumen kenegaraan Doktrin Politik Nasional tentang Penetapan Penegasan Pancasila sebagai Dasar Negara karena dokumen tersebut dinyatakn tidak berlaku oleh penjelasan pasal a quo.
Adanya pembatasan yang diberlakukan oleh ketentuan a quo telah mengakibatkan 104 Ketetapan MPR dinyatakan tidak perlu dilakukan tindakan hukum lebih lanjut, dan secara formal dinyatakan tidak berlaku. Oleh karena itu, dalam petitumnya, Pemohon meminta MK untuk mengabulkan permohonan Pemohon dengan menyatakan Pasal 7 ayat (1) huruf b UU Nomor 12/2011 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. (anjarsari/lul)