Sebanyak 85 mahasiswa Fakultas Hukum (FH) Universitas Negeri Semarang (Unes) berkunjung ke Mahkamah Konstitusi (MK), Rabu (7/9).
“Tujuan kunjungan kami ke MK untuk mendapatkan pengalaman dan pembelajaran yang tidak kita dapatkan dari bangku kuliah, melalui materi pembicara MK, melihat sidang MK dan Pusat Sejarah Konstitusi. Paling tidak, kehadiran kami akan sangat membantu para mahasiswa yang sedang Kuliah Kerja Lapangan,” ujar Dini Ekawati, juru bicara rombongan mahasiswa KKL FH Unes tersebut.
Kedatangan mereka diterima oleh Peneliti MK Fajar Laksono Soeroso di aula MK. Pada kesempatan itu, Fajar menerangkan prinsip supremasi Konstitusi. “Prinsip supremasi Konstitusi itu harus ditegakkan. Berkaca pada pengalaman-pengalaman di masa lalu, terutama pengalaman-pengalaman di masa orde lama dan orde baru, banyak sekali perkara yang menyangkut ketatanegaraan yang tidak selesai secara hukum. Selesainya ‘di bawah meja’ saja atau di bawah wibawa penguasa,” urai Fajar.
Pada masa Presiden Soekarno, misalnya, ketika Soekarno tidak sepaham dengan pimpinan Partai Masyumi, maka parpol tersebut dibubarkan oleh Presiden Soekarno tanpa melalui prosedur hukum.
Lebih lanjut, Fajar menjelaskan mengenai sistem presidensiil yang diterapkan di Indonesia. Menurutnya, dalam sistem presidensiil, masa jabatan presiden sudah ditentukan oleh UUD 1945. Berbeda dengan sistem parlementer. Dalam negara yang menganut sistem parlementer, perdana menteri bisa dijatuhkan suatu waktu dengan mosi tidak percaya.
“Maka jadi aneh ketika Gus Dur belum saatnya menyelesaikan masa jabatan, dia diturunkan di tengah masa jabatan tanpa proses hukum. Gus Dur dipilih oleh MPR, tetapi beliau juga dijatuhkan oleh MPR,” imbuh Fajar yang didampingi Martita selaku Wakil Dekan Bidang I FH Unes.
Menurut Fajar, sistem presidensiil menjadi anomali dan menjadi problem ketatanegaraan yang serius. “Itulah yang antara lain kemudian melatar belakangi perlunya dibentuk Mahkamah Konstitusi. Tujuan dibentuk Mahkamah Konstitusi adalah untuk menuntaskan, menyelesaikan persoalan-persoalan yang terkait dengan Konstitusi maupun ketatanegaraan,” kata Fajar.
MK, dalam menjalankan tugasnya, memilliki lima kewenangan dan satu kewajiban. Kewenangan utama MK adalah menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945). Berikutnya, MK berwenang memutus sengketa antara lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945. Selain itu, MK berwenang memutus perselisihan hasil pemilu dan memutus pembubaran partai politik. Sedangkan, kewajiban MK adalah memutus pendapat DPR terkait dugaan presiden dan atau wakil presiden melanggar hukum maupun melakukan perbuatan tercela.
Pada pertemuan itu, Fajar juga memaparkan sejarah berdirinya MK di Indonesia sejak masa kemerdekaan. Mohammad Yamin dalam Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK) mengusulkan Balai Agung perlu diberi wewenang untuk membanding undang-undang. Namun, Soepomo tidak setuju karena UUD yang disusun tidak menganut sistem trias politica. Alasan lain, kala itu belum banyak sarjana hukum di Indonesia.
Bertahun-tahun kemudian, terjadi Reformasi 1998 yang salah satu tuntutannya adalah melakukan amandemen UUD 1945 karena dinilai memiliki banyak kelemahan. Pada saat amandemen UUD 1945 itulah ide perlu dibentuknya MK di Indonesia terlontar. Hingga kemudian pada 13 Agustus 2003 dibentuklah MK Republik Indonesia. (Nano Tresna Arfana/lul)