Mahkamah Konstitusi (MK) menolak permohonan uji materiil Pasal 88 ayat (4) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang diajukan oleh 123 pekerja sejumlah perusahaan di Provinsi DKI Jakarta, Provinsi Jawa Barat (Jabar) dan Provinsi Jawa Timur (Jatim). Sidang pengucapan putusan perkara Nomor 8/PUU-XIV/2016 tersebut digelar Rabu (7/9) di ruang sidang pleno MK.
“Amar putusan menolak permohonan Pemohon untuk seluruhnya,” demikian diucapkan Ketua MK Arief Hidayat didampingi delapan hakim konstitusi lainnya.
Dalam permohonannya, para Pemohon mempersoalkan norma Pasal 88 ayat (4) UU Ketenagakerjaan yang dinilai mengandung ketidakjelasan tafsir mengenai komponen upah minimum. Ketidakjelasan tafsir demikian, menurut Pemohon, mengakibatkan terjadinya ketidakpastian hukum bagi Pemohon. Frasa “dan dengan memerhatikan” dalam ketentuan pasal a quo dikhawatirkan oleh Pemohon akan menimbulkan ketidakpastian hukum.
Adapun Pasal 88 ayat (4) UU Ketenagakerjaan menyatakan:
“Pemerintah menetapkan upah minimum sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) huruf a berdasarkan kebutuhan hidup layak dan dengan memperhatikan produktivitas dan pertumbuhan ekonomi”.
Menurut Mahkamah, kekhawatiran demikian dapat dipahami karena keberadaan frasa a quo membuka kemungkinan Pasal 88 ayat (4) UU Ketenagakerjaan ditafsirkan dalam dua cara, yaitu 1) upah minimum merupakan akumulasi dari ketiga nilai/komponen dalam ketentuan a quo; atau 2) upah minimum merupakan nilai KHL (Kebutuhan Hidup Layak) yang besarnya dipengaruhi oleh dua nilai lainnya.
Dalam hal besarnya upah minimum ditetapkan berdasarkan cara pertama, yaitu upah minimum merupakan akumulasi dari nilai KHL ditambah nilai produktivitas dan nilai pertumbuhan ekonomi, Mahkamah berpendapat penambahan demikian secara matematis tidak dapat dilakukan. Hal demikian, karena ketiga komponen tersebut secara logika tidak berada dalam kategori sama. Nilai KHL merupakan angka konkret yang menunjuk pada nominal rupiah tertentu. Adapun komponen produktivitas dan komponen pertumbuhan ekonomi merujuk pada suatu angka indeks yang tidak menunjuk pada nominal rupiah tertentu secara pasti. Indeks demikian masih harus dikonversi terlebih dahulu agar memiliki nilai konkret untuk dapat diterimakan sebagai upah minimum kepada pekerja.
Lebih lanjut, Mahkamah berpendapat seandainya nilai produktivitas dan nilai pertumbuhan ekonomi diasumsikan sebagai angka konkret yang dapat langsung dijumlahkan secara matematis dengan nilai KHL untuk menetapkan upah minimum, rumusan yang diperoleh akan sama dengan rumusan skema kedua. Sebab, nilai produktivitas dan nilai pertumbuhan ekonomi tidak selalu positif, melainkan dapat juga negatif, sehingga selalu membuka kemungkinan hasil akhir atau besaran upah minimum dapat lebih tinggi atau dapat pula lebih rendah daripada nilai KHL.
Penghitungan Upah Minimum
Berkenaan dengan upah minimum, Mahkamah pernah memutus dalam Putusan No. 61/PUU-VIII/2010, bertanggal 14 November 2011 dan Putusan No. 11/PUU-XII/2014 bertanggal 19 Maret 2015. Dengan mempertimbangkan kedua putusan tersebut, Mahkamah berpendapat frasa “dan dengan memperhatikan” pada Pasal 88 ayat (4) UU Ketenagakerjaan tidak menimbulkan ketidakpastian hukum karena tidak memunculkan ambiguitas pemaknaan apapun.
Menurut Mahkamah, ketentuan Pasal 88 ayat (4) Undang-Undang a quo tidak dapat dimaknai lain selain “upah minimum ditetapkan berdasar nilai KHL serta mempertimbangkan pengaruh komponen produktivitas dan nilai/komponen pertumbuhan ekonomi”. Selama penetapan upah minimum selalu didasarkan pada ketiga nilai/komponen tersebut, hal demikian telah memenuhi prinsip kepastian hukum serta keadilan baik bagi pekerja maupun bagi pengusaha.
“Berdasarkan seluruh pertimbangan hukum di atas, Mahkamah menilai dalil para Pemohon mengenai pertentangan antara Pasal 88 ayat (4) UU 13/2003 dengan Pasal 28D ayat (2) UUD 1945 adalah tidak beralasan menurut hukum,” ujar Hakim Konstitusi Suhartoyo membacakan pendapat Mahkamah.
Sebelumnya, 123 pekerja yang tergabung dalam Aliansi Buruh Tanpa Nama merasa dirugikan dengan ketentuan Pasal 88 ayat (4) UU Ketenagakerjaan. Sebagai pekerja, para Pemohon merasa terjamin untuk mendapatkan imbalan dan penghidupan yang layak sebagaimana dijamin oleh konstitusi Pasal 28D ayat (2) UUD 1945. Pemohon menambahkan bahwa dalam menetapkan kebijakan pengupahan yang berupa penetapan besaran upah minimum, haruslah didasarkan pada kebutuhan hidup layak (KHL) dengan memerhatikan produktivitas dan pertumbuhan ekonomi. Penetapan tersebut merupakan kewenangan gubernur berdasarkan rekomendasi dari Dewan Pengupahan Provinsi dan/atau Bupati/Walikota.
Penetapan upah dengan rumusan yang tidak hanya memperhitungkan KHL namun juga memerhatikan produktivitas dan pertumbuhan ekonomi telah diperkuat dengan putusan MK Nomor 61/PUU-VII/2010. Namun, menurut Pemohon, dalam praktik yang terjadi akhir-akhir ini, pemerintah menganggap belum ada rumusan yang jelas dalam menghitung dan menetapkan besaran upah minimum. Pemerintah memberlakukan Pasal 44 PP Nomor 78 Tahun 2015 tentang pengupahan yang pada pokoknya mengatur rumusan baru dalam penetapan besaran upah minimum oleh gubernur yang berbeda dengan rumusan yang diatur dalam UU Ketenagakerjaan. (Nano Tresna Arfana/lul)