Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang perkara No. 21/PUU-V/2007 tentang pengujian UU No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal (UU PM) terhadap UUD 1945, Kamis (2/8), di ruang sidang MK dengan agenda pemeriksaan pendahuluan.
Permohonan ini diajukan oleh sebelas lembaga swadaya masyarakat, antara lain, Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia (PBHI), Serikat Tani Nasional (STN), Federasi Serikat Buruh Jabotabek (FSBJ), Aliansi Petani Indonesia (API), Yayasan Bina Desa Sadajiwa (YBDS), Perserikatan Solidaritas Perempuan (PSP), Federasi Serikat Petani Indonesia (FSPI), Yayasan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Suara Hak Asasi Manusia Indonesia (SHMI), dan Asosiasi Pendamping Perempuan Usaha Kecil (ASPPUK).
Dalam petitumnya, para Pemohon meminta Majelis Hakim Konstitusi menyatakan Pasal 2, Pasal 3 ayat (2), Pasal 4 ayat (2), Pasal 12 ayat (1), Pasal 8 ayat (1), Pasal 10 ayat (2), Pasal 18 ayat (4), dan Pasal 22 UU PM bertentangan dengan Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 27 ayat (2), dan Pasal 28C UUD 1945, serta menyatakan pasal-pasal yang dimohonkan tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Dalam penjelasan permohonannya, para Pemohon yang diwakili oleh Kuasa Hukumnya Ecoline Situmorang, S.H. dkk. menyatakan bahwa melalui UU PM ini, beragam kemewahan disediakan demi mengundang investasi, mulai dari kemudahan pelbagai bentuk pajak, pemberian ijin Hak Guna Usaha selama 95 tahun sekaligus, bebas memindahkan modalnya kapan dan di manapun, hingga bebas dari masalah nasionalisasi. Sementara, biaya eksternalitas penanaman modal selama ini, di antaranya ribuan konflik lahan, pelanggaran HAM, perusakan lingkungan dan pemiskinan yang selama ini terjadi, tidak sedikitpun menjadi rujukan penyusunan UU PM oleh Pemerintah dan DPR RI.
Dalam UU PM ini, lanjut Pemohon, investasi sebagai penopang pembangunan yang dimaknai sebagai proses ekonomi dengan pertumbuhan ekonomi semata, mengandung banyak kelemahan karena mengabaikan keadilan distribusi pendapatan sehingga memperlebar jurang kesenjangan antara yang kaya dan miskin. Di sisi lain, masyarakat Indonesia masih mayoritas miskin dan tidak mampu mengakses sumber daya alam, kesehatan, pendidikan, serta pelayanan publik lainnya. Hal-hal inilah, yang menurut para Pemohon melanggar konstitusi dan mengkhianati cita-cita pembangunan ekonomi nasional yang bersandar pada nilai-nilai kerakyatan atau ekonomi Pancasila.
Terhadap permohonan ini, Ketua Panel Hakim Dr. H. Harjono, S.H., MCL. mengatakan bahwa permohonan para Pemohon masih belum fokus karena para Pemohon dalam permohonannya juga membandingkan dan mempertanyakan eksistensi UU PM terhadap UU Agraria maupun UU Kehutanan. Seharusnya, harap Harjono, para Pemohon memfokuskan uji materi UU PM terhadap UUD 1945. Apakah itu artinya MK juga harus menguji Undang-Undang Agraria atau Kehutanan tersebut, padahal yang dimohonkan adalah uji materi Undang-Undang Penanaman Modal, tanya Harjono.
Sementara itu, Anggota Panel Hakim Prof. Dr. H. M. Laica Marzuki, S.H. menganggap naskah permohonan tersebut sarat akan naskah akademis, namun legal standing para Pemohon masih absurd. Para Pemohon belum menjelaskan secara detail kerugian konstitusional apa saja yang dialami para Pemohon dengan adanya UU PM ini. Tanpa ada kerugian konstitusional, tak kan ada permohonan, jelas Laica Marzuki.
Tambah Anggota Panel Hakim I Dewa Gede Palguna, S.H., M.H., para Pemohon diminta menjelaskan secara rinci kerugian konstitusional masing-masing Pemohon, karena, setiap Pemohon berdasarkan ciri masing-masing lembaga, tentunya memiliki kerugian konstitusional yang berbeda. Para Pemohon, lanjut Palguna, juga harus mengacu pada Pasal 51 UU MK yang mengatur siapa saja yang bisa mengajukan perkara uji materi ke MK.
Perihal fokus permohonan, Palguna menyarankan para Pemohon untuk lebih mengelaborasi permohonan uji materinya dengan melandaskan batu uji materi tersebut pada Pasal 33 UUD 1945 dengan tidak terlalu mengumbar fakta-fakta, karena MK menguji norma, bukan fakta. Nantinya, terhadap perbaikan permohonan para Pemohon ini, kami beri waktu maksimal 14 hari kerja untuk diserahkan kepada kepaniteraan MK, kata Palguna.
Terhadap nasehat dari Majelis Panel Hakim tersebut, Kuasa para Pemohon, Janses E. Sihaloho, S.H. menyatakan sepakat untuk melakukan perbaikan permohonan. Bersamaan dengan sidang ini, di halaman gedung MK terjadi demonstrasi dari mahasiswa yang menolak pemberlakuan UU PM. (Wiwik Budi Wasito)