Forum Kajian Hukum dan Konstitusi (FKHK) mengajukan permohonan pengujian Undang-Undang No.23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (UU Pemda) dan Undang-Undang No. 5 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung (UU MA). Sidang perdana perkara dengan Nomor 66/PUU-XIV/2016 digelar pada Selasa (6/9) di Ruang Sidang Panel MK.
Sekretaris Jenderal FKHK Bayu Segara yang mewakili Pemohon mendalilkan hak konstitusionalnya terlanggar dengan berlakunya Pasal 245 ayat (1) dan ayat (3), Pasal 251 ayat (2), ayat (3), dan ayat (4), Pasal 267 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 268 ayat (1), Pasal 269 ayat (1), Pasal 270 ayat (1), Pasal 271 ayat (1), Pasal 324 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 325 ayat (1) dan ayat (2) UU Pemda serta Pasal 31 ayat (2) UU MA.
Segara menjelaskan Pemerintah melalui Kementerian Dalam Negeri telah membatalkan ribuan peraturan daerah (perda) provinsi atau kabupaten/kota yang diatur dalam Pasal 251 UU Pemda. Kebijakan tersebut dirasa Pemohon berdampak luas bagi jalannya roda pemerintahan di daerah. Pemohon juga menilai, ketentuan dalam UU Pemda telah menimbulkan ketidakpastian hukum karena mengakibatkan polemik dan problematika secara akademik dan praktis dalam hal pengawasan dan pengujian norma Peraturan Daerah. Seharusnya, menurut Pemohon, konsep pengawasan pemerintah pusat hanya sebatas preview terhadap rancangan perda (ranperda) sebelum diundangkan, bukan membatalkan perda yang sudah disahkan pemerintahan daerah (kepala daerah dan DPRD). pemerintah pusat, menurut Pemohon, hanya mengevaluasi dan sinkronisasi terhadap peraturan yang lebih tinggi.
“Perda merupakan rezim peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang menurut ketentuan Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011. Sehingga wewenang membatalkan Perda merupakan kewenangan konstitusional yang hanya dimiliki oleh Mahkamah Agung. Berbeda jika Perda bukan merupakan rezim peraturan perundang-undangan,” jelasnya di hadapan Majelis Hakim yang dipimpin oleh Hakim Konstitusi Manahan Sitompul tersebut.
Menurut Pemohon, hak yang diberikan kepada pemerintahan daerah untuk menetapkan peraturan daerah merupakan bentuk daulat rakyat di tingkat daerah karena melalui peraturan daerah aspirasi kepentingan daerah terakomodir. Menurut pemohon, pasal a quo melemahkan sistem presidensiil dan bertentangan dengan Pasal 24A ayat (1) UUD 1945 serta menentang bab konstitusional tentang otonomi daerah bahwa daerah mengatur urusan pemerintahannya sendiri seperti yang tercantum dalam Pasal 18 ayat (2) UUD 1945.
“Kemudian apabila merujuk Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 juga tidak ada ketentuan pengkhususan atau pengklasifikasian terhadap ranperda yang dapat di-verify atau dievaluasi oleh pemerintah pusat. Sehingga pengklasifikasian terhadap ranperda yang dapat dievaluasi tidak relevan dan menimbulkan ketidakpastian hukum karena pada hakikatnya setiap ranperda memiliki kepentingan yang sama dan tergantung dari hal-hal yang diatur,” ujarnya.
Segara melanjutkan ketentuan tersebut juga menimbulkan dualisme dalam proses pembatalan peraturan daerah (perda) yang berdampak pada timbulnya ketidakpastian hukum dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Tentu hal tersebut merugikan masyarakat pada umumnya karena berpotensi menimbulkan dua hasil pembatalan perda yang berbeda.
Selain itu, Pemohon juga meminta MK agar memberi penegasan bahwa perda hanya dapat dibatalkan melalui putusan Mahkamah Agung apabila perda dinilai bertentangan dengan UU, bukan peraturan perundangan di bawah UU. Dengan demikian, terdapat keseragaman tolok ukur dalam menguji peraturan perundang-undangan di bawah UU. Oleh karena itu, dalam petitumnya, Pemohon meminta MK untuk mengabulkan permohonan Pemohon dan menyatakan Pasal a quo tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat dan bertentangan dengan UUD 1945.
Nasihat Hakim
Menanggapi permohonan tersebut, Majelis Hakim yang juga terdiri dari Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams dan Suhartoyo memberikan saran perbaikan. Wahiduddin meminta agar pemohon memperbaiki kedudukan hukum. Tak hanya itu, Wahid pun menyarankan agar pemohon mempertajam dalil permohonannya.
“Saudara hanya mengatakan bahwa Pemohon memiliki kepentingan konstitusional karena Pemohon ini adalah badan hukum. Ya, perkumpulan, ya, aktif memperjuangkan kebijakan publik dan isu-isu. Nah kemudian, dengan berlakunya norma itu, Pemohon mengalami ketidakpastian karena ada problematik akademik. Itu saja yang potensial, yang aktual, yang Saudara alami itu apa? Padahal di sini intinya, Saudara punya kerugian konstitusional atau tidak dengan berlakunya norma ini?” terangnya.
Untuk itulah pemohon diberikan waktu selama 14 hari untuk memperbaiki permohonan. Sidang berikutnya akan digelar dengan agenda pemeriksaan perbaikan permhonan. (Lulu Anjarsari/lul)