Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang lanjutan pengujian Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (UU Pemda), Selasa (6/9). Agenda sidang adalah mendengarkan keterangan dari pihak Pemerintah yang diwakili Widodo Sigit Pudjianto, Kepala Biro Hukum Kementerian Dalam Negeri.
Pemerintah berpendapat, keberadaan Pasal 251 ayat (1) dan ayat (2) UU Pemda tidak menghilangkan atau membatasi wewenang Mahkamah Agung untuk melakukan pengujian peraturan daerah dan peraturan kepala daerah, sepanjang terdapat kelompok masyarakat atau perorangan warga negara yang mengajukan keberatan atas berlakunya suatu peraturan daerah atau peraturan kepala daerah.
“Hal mana terbukti dalam data Laporan Tahunan Mahkamah Agung 2015, di mana sepanjang Januari sampai Desember 2015, Mahkamah Agung telah menerima 72 permohonan pengujian peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang,” urai Widodo.
Dikatakan Widodo, sesuai Pasal 18 ayat (6) UUD 1945, pemerintah daerah diberikan wewenang untuk menetapkan peraturan daerah dan peraturan-peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan. Agar wewenang tersebut dapat dipergunakan sebaik-baiknya dan secara bertanggung jawab, maka diperlukan mekanisme untuk mengawasi pelaksanaan kewenangan daerah dalam membentuk peraturan daerah dan peraturan kepala daerah.
“Pengawasan peraturan daerah dan peraturan kepala daerah diperlukan dalam rangka menjaga kesesuaian peraturan di tingkat daerah dengan peraturan yang berlaku di tingkat nasional. Pengawasan juga diperlukan untuk mengontrol agar peraturan yang dibuat tidak melanggar prinsip-prinsip dasar dalam bernegara, seperti perlindungan hak asasi manusia, kepentingan umum dan atau kesusilaan,” papar Widodo.
Sementara itu terhadap Pasal 251 ayat (7) dan ayat (8) UU Pemda, Pemerintah berpendapat bahwa pasal tersebut merupakan perwujudan dari konsep upaya administratif melalui cara banding administratif yaitu penyelesaian upaya administrasi yang dilakukan instansi atasan pejabat yang mengeluarkan keputusan tata usaha negara tersebut, atau instansi yang lain dari badan atau pejabat tata usaha negara yang mengeluarkan keputusan tata usaha negara.
Permohonan yang teregistrasi dengan nomor perkara 56/PUU-XIV/2016 tersebut diajukan oleh Abda Khair Mufti, Muhammad Hafidz, Amal Subkhan, Solihin, dan Totok Ristiyono. Norma yang diajukan adalah Pasal 251 ayat (1), Pasal 251 ayat (2), Pasal 251 ayat (7), dan Pasal 251 ayat (8) UU No. 23 Tahun 2014.
Dalam pokok permohonannya, Pemohon menilai ketentuan UU Pemda telah memberikan kewenangan kepada Gubernur dan Menteri untuk membatalkan perda yang bertentangan dengan ketentuan perundang-undangan yang lebih tinggi, kepentingan umum, dan/atau kesusilaan, pada tingkatan kabupaten/kota atau provinsi dan juga terhadap peraturan gubernur atau bupati/walikota. Kewenangan tersebut merupakan executive review yang dapat digunakan untuk kesewenang-wenangan pemerintah pusat dan cenderung mengarah resentralisasi.
Executive review secara represif yang diatur dalam UU Pemda, menurut Pemohon, merupakan kompetensi Mahkamah Agung (MA) sebagai pengadilan negara tertinggi dari badan peradilan umum, agama, militer dan tata usaha negara. Oleh karena itu, Pemohon berpendapat bahwa ketentuan tersebut bertentangan dengan Pasal 24A ayat (1) UUD 1945.
Oleh karena itu, menurut Pemohon, ketentuan dalam Pasal 251 ayat (1) dan ayat (2) UU Pemda harus dinyatakan inkonstitusional bersyarat sepanjang tidak dimaknai, “Gubernur atau Menteri dapat mengajukan permohonan pembatalan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota dan Peraturan Bupati/Walikota, atau Peraturan Daerah Provinsi dan Peraturan Gubernur yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, kepentingan umum, dan/atau kesusilaan ke Mahkamah Agung paling lama 14 (empat belas) hari setelah ditetapkan”. (Nano Tresna Arfana/lul)