Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang pemeriksaan pendahuluan uji materiil Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas UU No. 1 Tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota (UU Pilkada), serta Undang-Undang No. 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum (UU Penyelenggara Pemilu), Selasa (6/9) di ruang sidang MK. Perkara teregistrasi Nomor 64/PUU-XIV/2016 dan 65/PUU-XIV/2016 tersebut diajukan oleh Ahmad Irawan serta Dekan Fakultas Hukum Universitas Ibnu Chaldun Jakarta Muhammad Syukur Mandar dan BEM FH Universitas Ibnu Chaldun Jakarta.
Pemohon perkara No 64 Ahmad Irawan menyinggung keikutsertaan DPR dan Pemerintah dalam urusan kekuasaan penyelenggara pemilu, khususnya pada penyusunan regulasi. Menurutnya, ketentuan yang termaktub dalam Pasal 9 huruf a dan Pasal 22B huruf a UU Penyelenggara Pemilu tersebut bertentangan dengan paradigma dan konsepsi negara hukum demokratis yang mensyaratkan adanya check and balance.
“Pada 1 Juli 2016 telah disahkan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016. Pasal 9 huruf a isinya menyebut KPU dan Bawasalu dalam menyusun dan menetapkan PKPU serta pedoman teknis setiap tahapan pemilihan sebelumnya harus berkonsultasi dengan DPR dan Pemerintah,” jelasnya dalam persidangan yang dipimpin Hakim Konstitusi I Dewa Gede Palguna.
Sementara, Pemohon perkara No 65 Muhammad Syukur Mandar menyinggung peran KPU sebagai penyelenggara pilkada, sebagaimana Pasal 1 angka 5, Pasal 8 ayat (3), dan Pasal 10 ayat (3) UU Penyelenggara Pemilu. Menurutnya, peran tersebut tidak sejalan dengan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 97/PUU-XI/2013.
“Bahwa putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 97/PUU-XI/2013 menyebutkan, pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota adalah bukan merupakan pemilihan umum. Dengan demikian, kewenangan penyelenggara pemilu (KPU dan Bawaslu, red) menyelenggarakan pilkada sebagaimana diatur dalam pasal-pasal yang dimohonkan dalam pengujian ini adalah bertentangan dengan UUD 1945 dan inkonstitusional,” tegasnya.
Nasihat Hakim
Menanggapi permohonan Pemohon, Hakim Konstitusi Aswanto memberikan masukan agar Pemohon Perkara Nomor 64 memperjelas legal standing-nya. Menurut Aswanto, argumen yang dikemukakan Pemohon belum kuat. “Mungkin Anda memang punya kerugian konstitusional, tetapi belum terlihat. Silakan yakinkan kami kalau memang Anda punya kerugian konstitusional,” jelasnya.
Sementara permohonan Nomor 65 dianggap terlalu panjang dan bertele-tele. Aswanto meminta agar permohonan dibuat lebih singkat dan to the point. “Saya kira tidak perlu terlalu panjang menguraikan macam-macam, begitu. Tidak berarti bahwa yang panjang itu lebih lengkap, begitu, ternyata malah ada yang bolak-balik, ada redundant begitu, semakin bingung kita,” kata dia. (ars/lul)