Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang lanjutan uji materiil Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Mahkamah Agung (UU MA) dan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Mahkamah Konstitusi (UU MK), Senin (5/9) di ruang sidang MK. Agenda sidang perkara teregistrasi Nomor 53/PUU-XIV/2016 tersebut adalah mendengar keterangan DPR, ahli Pemohon dan ahli Presiden. Namun, DPR dan ahli Pemerintah tidak hadir dalam persidangan.
Hadir sebagai Ahli Pemohon yaitu akademisi dan mantan Hakim Konstitusi H A.S Natabaya. Ia menjelaskan sebenarnya dalam dunia kehakiman tidak dikenal istilah hakim nonkarier. Dia menyebut hanya ada dua jenis hakim, yakni hakim karier dan hakim ad hoc. “Saya ambil contoh di negara lain, seperti Belanda,” jelasnya dalam persidangan yang dipimpin Wakil Ketua MK Anwar Usman.
Jika MA Belanda membutuhkan hakim dengan spesialisasi keilmuan khusus, kata dia, mereka mengangkat hakim ad hoc. Misalnya, ketika dalam persidangan membutuhkan perspektif pengetahuan yang spesifik.
Selain itu, dirinya juga mengkritisi hakim nonkarier yang berbeda dari sisi pengalaman hukum. Perbedaan hakim karier dan hakim nonkarier, jelasnya, hanya sebatas memiliki kualifikasi pendidikan semata minus praktik hukumnya. “Nah, yang nonkarier ini pengalamannya. Karena dia tamat 20 tahun, dia doktor, tapi pengalaman di bidang hukumnya dipertanyakan,” jelasnya.
Usai menyimak pemaparan Natabaya, Kepala Subdirektorat Penyiapan dan Pendampingan Persidangan Bidang Politik, Hukum dan Keamanan pada Direktorat Litigasi Ditjen Peraturan Perundang-undangan Hotman Sitorus sebagai perwakilan Pemerintah menyanggah argumen Natabaya. Dirinya menyebut nama Profesor Bagir Manan, yang berasal dari hakim nonkarier, bisa bertahan menjadi hakim, bahkan menjadi Ketua MA. Ia menambahkan, di negara lain seperti Amerika Serikat, pengangkatan hakim agung tidak mempersoalkan apakah dari hakim banding atau hakim distrik, tetapi adalah diskresi dari presiden.
“Di sana banyak hakim agung itu yang sangat berprestasi tidak berlatar belakang hakim. Salah satu contoh adalah John Marshall,” kata dia.
Sebelumnya, Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Binsar M. Gultom dan Hakim Tinggi Pengadilan Tinggi Medan Lilik Mulyadi memohonkan uji materi Pasal 6B ayat (2) UU MA yang membolehkan calon hakim agung dari jalur nonkarier. Menurut para Pemohon, ketentuan tersebut tidak tepat karena hal yang menjadi tolak ukur dalam persyaratan profesi hakim bukan semata pendidikan akademisnya, tetapi juga pengalaman dan kompetensi hakim dalam mengadili serta memutus perkara di persidangan.
Selain itu, Pemohon beranggapan bahwa ketentuan Pasal 7 huruf a angka 4 dan angka 6 UU MA yang mengatur syarat hakim karier menjadi hakim agung dari segi usia dan pengalaman bersifat diskriminatif jika dibandingkan dengan syarat untuk hakim nonkarier. Pada ketentuan hakim karier, usia minimum hakim adalah 45 tahun dengan pengalaman menjadi hakim selama 20 tahun, termasuk pengalaman menjadi hakim tinggi minimal 3 tahun. Sementara, syarat hakim nonkarier pada Pasal 7 huruf b UU MA hanya menyatakan berpengalaman di bidang hukum selama 20 tahun tanpa dirinci secara tegas keahlian hukum di bidang hukum tertentu.
Selanjutnya, menurut Pemohon, ketentuan Pasal 7 huruf b angka 1, angka 2, angka 3 dan angka 4 UU MA telah merugikan hak-hak konstitusional Pemohon dan berpotensi menutup karier para hakim dari jalur karier yang puncak kariernya menjadi hakim agung. Selain itu, Pemohon juga menguji materi ketentuan periodisasi hakim konstitusi yang tertuang dalam UU MK. Pemohon menerangkan bahwa pembatasan masa jabatan bagi Ketua dan Wakil Ketua MK yang hanya 2 tahun 6 bulan, sebagaimana tercantum dalam Pasal 4 ayat (3) UU MK, bertentangan dengan UUD 1945 karena akan menghambat karier bagi hakim konstitusi yang berasal dari unsur Mahkamah Agung.
Berikutnya, Pemohon mempersoalkan ketentuan Pasal 22 UU MK mengenai pembatasan masa jabatan hakim konstitusi yang dinilai merugikan. Seharusnya, menurut Pemohon, sebagaimana hakim agung, tidak ada periodisasi jabatan bagi hakim konstitusi. (ars/lul)