Mahkamah Konstitusi (MK) menerima kunjungan para mahasiswa dari tiga perguruan tinggi berbeda. Tiga perguruan tinggi tersebut, yakni Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Jakarta (UNJ), Universitas Brawijaya (UB) Malang dan Universitas Leipzig Jerman, Senin (5/9). Peneliti MK, Bisariyadi menerima kunjungan tersebut di aula Gedung MK.
Mengawali paparannya, Bisariyadi menjelaskan latar belakang dibentuknya MK di Indonesia melalui amandemen UUD 1945 hingga sah berdiri pada 13 Agustus 2003. Selanjutnya, ia menerangkan kewenangan dan kewajiban MK sebagaimana diamanatkan UUD 1945. “Kewenangan utama MK adalah menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar,” kata Bisariyadi yang akrab disapa Bisar.
Selain itu, ungkap Bisar, MK berwenang memutuskan sengketa hasil pemilu, sengketa kewenangan antara lembaga negara yang kewenangannya diberikan UUD 1945, dan pembubaran partai politik. MK juga memiliki kewajiban untuk memutus pendapat DPR terkait pemakzulan presiden dan/atau wakil presiden.
“Dari kewenangan dan kewajiban MK itu, yang belum pernah dijalankan MK adalah kewenangan memutus pembubaran partai politik dan kewajiban memutus pendapat DPR bila presiden dan/atau wakil presiden dianggap melanggar hukum,” urai Bisar kepada para mahasiswa.
Selain itu, sambung Bisar, perkara sengketa kewenangan antar lembaga negara juga terbilang sedikit disidangkan di MK. “Dalam setahun hanya 3 sampai 4 perkara dan putusannya tidak ada yang diterima MK,” tambahnya.
Di antara kewenangan MK tersebut, Bisar menyoroti kewenangan MK memutus sengketa hasil pemilu terutama hasil pemilu kepala daerah atau pilkada. “Tahun 2008 pembuat undang-undang menyatakan pilkada masuk ke dalam rezim pemilu. Konsekuensinya, sengketa-sengketa pilkada penyelesaiannya dibawa ke Mahkamah Konstitusi,” ucap Bisar.
Kemudian pada tahun 2013, MK memutuskan pilkada bukan rezim pemilu sehingga penyelesaian sengketa pilkada bukan kewenangan MK. Dalam putusan Nomor 97/PUU-XI/2013 tersebut, MK menyatakan masih dapat mengadili sengketa pilkada sampai dibentuk peraturan lebih lanjut oleh pembuat undang-undang. Namun, melalui UU No. 8/2015, pembentuk undang-undang kembali memberikan kewenangan itu kepada MK hingga dibentuknya pengadilan khusus sengketa pilkada.
Dijelaskan Bisariyadi, sengketa pilkada menjadi perkara yang sangat mengandung nilai politis karena banyak sekali persoalan yang muncul dalam penyelenggaraan pilkada. Atas dasar ditemukannya pelanggaran yang terstruktur, sistematis dan masif dalam pilkada, imbuhnya, MK dapat memerintahkan Komisi Pemilihan Umum melakukan pemilihan ulang ataupun penghitungan suara ulang.
Usai menyimak pemaparan Bisar, salah satu mahasiswa yang menanyakan terkait constitutional complaint. Dijelaskan Bisar, constitutional complaint atau pengaduan konstitusional adalah pengaduan warga negara terhadap tindakan atau keputusan organ negara, termasuk putusan pengadilan, yang dianggap melanggar hak konstitusionalnya. Namun saat ini MKRI belum memiliki kewenangan memutus pengaduan konstitusional.
Hampir di semua negara, Mahkamah Konstitusi dan institusi sejenis memiliki wewenang memutus perkara pengaduan konstitusional, termasuk di tiga negara yang banyak menjadi referensi pada saat pembentukan MKRI, yaitu Jerman, Austria, dan Republik Korea. Dalam perkembangannya, perkara pengaduan konstitusional menjadi perkara terbanyak yang diterima dan diputus oleh MK di ketiga negara tersebut. (Nano Tresna Arfana/lul)