Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi (UU Migas) Pasal 11 Ayat (2) yang memuat ketentuan, Setiap Kontrak Kerja Sama yang sudah ditandatangani harus diberitahukan secara tertulis kepada Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia dianggap bertentangan dengan UUD 1945. Ketentuan tersebut menyebabkan Pemerintah c.q. BP Migas hanya wajib memberitahukan kepada DPR setiap kontrak kerja sama (KKS) atas bagi hasil eksplorasi dan eksploitasi kekayaan alam yang dibuat dengan para kontraktor, terutama kontraktor asing.
Pernyataan tersebut disampaikan oleh Januardi S. Haribowo, S.H., kuasa para Pemohon saat membacakan permohonan uji materiil atas Pasal 11 Ayat (2) UU Migas terhadap UUD 1945, Rabu (1/8) di ruang sidang Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta. Para pemohon uji materiil ini adalah beberapa anggota DPR, yaitu Zainal Arifin, Sonny Keraf, Alvin Lie, Ismayatun, Hendarso Hadiparmono, Bambang Wuryanto, Dradjad Wibowo, dan Tjatur Sapto Edy.
Para Pemohon menganggap UUD 1945 telah mewajibkan kepada Pemerintah untuk meminta persetujuan DPR apabila membuat perjanjian internasional sepanjang perjanjian internasional tersebut menimbulkan akibat luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan negara. Menurut para Pemohon, KKS eksplorasi dan eksploitasi kekayaan alam termasuk kategori perjanjian internasional lainnya seperti maksud Pasal 11 Ayat (2) UUD 1945. Ketiadaan persetujuan DPR tersebut, menurut para Pemohon telah mengakibatkan hilang dan terlanggarnya hak konstitusional para Pemohon sebagai Anggota DPR untuk melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan pengelolaan kekayaan alam Indonesia.
Karena hanya bersifat pemberitahuan, DPR tidak bisa mengawasi KKS sejak awal pembuatannya sehingga DPR tidak bisa mengawasi pengelolaan kekayaan alam yang dikuasai oleh negara. Akibatnya KKS tersebut tidak bisa memaksimalkan manfaat bagi kesejahteraan dan kemakmuran rakyat, ujar Januardi.
Menanggapi permohonan tersebut, Hakim Konstitusi Prof. Dr. H.M. Laica Marzuki, S.H. yang memimpin sidang panel mempertanyakan mengapa para Pemohon sebagai anggota DPR mempermasalahkan UU Migas yang notabene adalah produk DPR. Apabila tetap bermaksud mengajukan permohonan, sebaiknya status sebagai anggota DPR tidak dipakai saja, saran Laica.
Sementara Hakim Konstitusi Dr. Harjono, S.H. meminta para Pemohon berkonsolidasi dengan DPR secara kelembagaan mengingat dalam perkara pengujian undang-undang, pihak DPR sebagai pembuat undang-undang pasti akan dihadirkan dalam persidangan. Menurut Harjono, hal tersebut penting dilakukan agar jangan sampai ketika dihadirkan dalam persidangan, antar anggota DPR tidak memiliki persepsi yang sama. Ia juga menyarankan para Pemohon untuk memperhatikan UU No. 24 Tahun 2004 tentang Perjanjian Internasional untuk menyeragamkan maksud dari perjanjian internasional lainnya seperti yang termuat dalam Pasal 11 Ayat (2) UUD 1945.
Anggota panel Hakim Konstitusi lainnya, Letjen (Purn) A. Reostandi, S.H., juga meminta para Pemohon dalam mengajukan uji materiil tersebut untuk memperjelas statusnya sebagai anggota DPR atau perseorangan. Hakim Roestandi juga mengingatkan bahwa UUD 1945 memberikan pembedaan antara hak DPR sebagai lembaga dan hak-hak anggota DPR. Sementara, Pasal 11 Ayat (2) UUD 1945 yang dijadikan dalil oleh para Pemohon menjelaskan hak-hak DPR sebagai lembaga, bukan hak sebagai anggota DPR. Roestandi juga menyarankan para pemohon mempertimbangkan kembali permohonannya. Karena apabila permohonan tersebut dikabulkan berarti implikasinya setiap KKS harus atas persetujuan DPR. Apakah itu tidak menghambat? Kita tahu bagaimana DPR itu berbelit-belit, pungkasnya. [ardli]