Perbedaan batasan masa jabatan bagi hakim Pengadilan Hubungan Industrial dengan hakim lain dalam lingkungan Mahkamah Agung bertentangan dengan hukum persamaan di hadapan hukum. Hal tersebut disampaikan Mantan Hakim Konstitusi Maruarar Siahaan yang menjadi ahli pemohon dalam sidang pengujian Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (UU PPHI).
Sidang keempat perkara yang dimohonkan oleh hakim pada Pengadilan Industrial Mustofa dan Sahala Aritonang tersebut digelar Mahkamah Konstitusi (MK) pada Rabu (31/8) di Ruang Sidang Pleno MK.
Menurut Maruarar, adanya perbedaan perlakuan dan peraturan antara hakim ad hoc, hakim Pengadilan Hubungan Industrial, juga hakim karier menunjukkan adanya ketidaksamaan di hadapan hukum. Ia menyebut hakim ad hoc Pengadilan Hubungan Industrial adalah hakim selayaknya sesuai sistem hukum yang dianut. Hanya saja jalur rekrutmennya bersifat nonkarier.
“Selayaknya dengan tugas dan kewenangan yang sama, kedudukan dan hak-haknya juga harus dipersamakan dengan hakim lain di lingkungan peradilan yang sama atau berbeda di bawah Mahkamah Agung,” tukasnya dalam sidang perkara Nomor 49/PUU-XIV/2016 yang dipimpin Ketua MK Arief Hidayat tersebut.
Maruarar menyimpulkan hakim ad hoc Peradilan Hubungan Industrial adalah hakim dengan tugas dan kewenangan sebagai penyelenggara kekuasaan kehakiman di bawah Mahkamah Agung yang berasal dari jalur nonkarier yang seyogianya diperlakukan sama. Oleh karena itu, masa jabatan periodik hakim Peradilan Hubungan Industrial seharusnya tidak seperti jabatan politis yang diangkat kembali untuk masa jabatan berikutnya selama 5 tahun. Maruarar menekankan jabatan hakim ad hoc Peradilan Hubungan Industrial bukanlah jabatan dengan karakter politik, melainkan hanya merupakan metode rekrutmen hakim dari kalangan nonkarier yang seharusnya diperlakukan sama dengan hakim karier.
“Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 6/PUU-XIV/2016 tanggal 4 Agustus 2016 tentang Uji Materi Pasal 13 ayat (1) huruf c Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak, menurut hemat saya menjadi rujukan persamaan perlakuan dan nondiskriminasi terhadap Hakim Peradilan Hubungan Industrial,” tandasnya.
Dalam kesempatan itu, Pemohon juga menghadirkan beberapa orang saksi. Salah satunya Hakim Ad Hoc Pengadilan Hubungan Industrial Surabaya Alfil Syahril. Ia menjelaskan tugas dan kewenangan yang sama dengan hakim, kecuali ada beberapa haknya yang berbeda termasuk tunjangan.
Sebelumnya, para Pemohon merasa ketentuan Pasal 67 ayat (2) UU PPHI menimbulkan ketidakpastian hukum. Nova Harmoko selaku kuasa hukum Pemohon menilai pasal a quo telah mendiskriminasi para hakim ad hocpada Pengadilan Hubungan Industrial. Seperti diketahui, pasal a quo menyatakan masa tugas hakim ad hocuntuk jangka waktu lima tahun dan dapat diangkat kembali untuk satu kali masa jabatan.
Menurut Pemohon, periodisasi semacam itu tidak diatur bagi hakim di lingkungan peradilan lainnya di bawah Mahkamah Agung (MA) sehingga menimbulkan diskriminasi bagi Pemohon. Periodisasi hakim ad hoc juga dianggap Pemohon menimbulkan masalah yang berkaitan dengan keberlanjutan penyelesaian, pemeriksaan, dan pemutusan perkara perselisihan hubungan industrial. Dengan periodisasi tersebut, Pemohon khawatir tidak dapat menuntaskan perkara perselisihan hubungan industrial yang seharusnya memberikan perlindungan yang adil bagi pekerja dan pemerintah. (Lulu Anjarsari/lul)