Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang lanjutan uji materiil Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana atau Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Pasal 284 ayat (1) hingga ayat (5), Selasa (30/8) di ruang sidang MK. Sidang Perkara No 46/PUU-XIV/2006 tersebut beragenda mendengar keterangan Komisi Nasional Perempuan dan Institute Of Criminal Justice Reform (ICJR) sebagai Pihak Terkait.
Ketua Komnas Perempuan Azriana mengungkapkan keberatannya terhadap permohonan oleh sejumlah warga negara dengan latar belakang beragam tersebut. Menurut Azriana, permohonan Pemohon untuk memperluas cakupan perzinaan yang terbatas pada orang yang terikat perkawinan menjadi kepada siapa pun, baik di luar maupun dalam perkawinan, berpotensi mengkriminalisasi pasangan yang perkawinannya masih belum dianggap sah oleh negara.
“Banyak kelompok penghayat kepercayaan yang sampai saat ini perkawinanya belum diakui secara sah. Jika perluasan definisi zina terjadi, mereka akan menjadi korban kriminalisasi,” jelasnya.
Selain itu, kata dia, definisi perluasan makna zina akan merugikan anak di bawah umur korban kekerasan seksual. Apabila definisi zina diperluas, Azriana khawatir pelaku akan berdalih tindakan dilakukan atas dasar suka sama suka sehingga berujung korban juga terkena pidana.
Ia juga mengungkapkan selama ini Komnas Perempuan merasa terbantu dengan keberadaan Pasal 284 ayat (1) sampai ayat (5) KUHP. Ruang lingkup zina sebagaimana pasal a quo dinilai telah melindungi hak konstitusional warga negara, termasuk perempuan, atas perlindungan diri pribadi, keluarga, dan kehormatannya. “Hak setiap orang untuk mempertahankan perkawinan dan keutuhan rumah tangganya dalam pandangan kami melalui pasal ini dilindungi secara utuh oleh negara,” ujarnya.
Kendati demikian, Azriana menyatakan sepakat dengan dalil Pemohon yang meminta perluasan cakupan perkosaan, bukan hanya bisa terjadi pada wanita melainkan juga dapat terjadi pada laki-laki. “Kami menggarisbawahi pernyataan Pemohon bahwa perkosaan adalah bukan tindakan gairah, melainkan tindakan kejahatan dan kekerasan dengan maksud menyakiti, merendahkan dengan menggunakan seks sebagai senjata, dan tindakan kejahatan akibat relasi kuasa yang tidak seimbang. Karenanya siapa saja berpotensi menjadi korban perkosaan. Lintas usia, latar belakang, jenis fisik, dan cara bertingkah laku. Jadi mengenai bahwa laki-laki bisa menjadi korban perkosaan, kami sependapat dengan Pemohon,” paparnya.
Overkriminalisasi
Sementara Kuasa Hukum Pihak Terkait dari LSM Institute Of Criminal Justice Reform (ICJR) Supriyadi menyebut akan terjadi overkriminalisasi, yaitu kelebihan beban pidana atau banyaknya perbuatan pidana yang dikriminalkan dalam suatu negara, apabila permohonan para Pemohon dikabulkan MK.
“Kita bisa bayangkan ketika anak-anak remaja kita berhubungan seksual karena ketidaktahuan dan keingintahuan mereka. Nantinya mereka akan dikriminalisasi dan penjara-penjara kita akan penuh dengan anak-anak,” ujarnya.
Selain itu, ia memandang apabila permohonan dikabulkan, negara akan masuk terlalu jauh untuk mengontrol hak privasi warga negara. Menurut Supriyadi, negara akan sangat mudah untuk mencampuradukkan persoalan yang bersifat privat dengan persoalan-persoalan yang bersifat publik. “Dengan kata lain, tidak akan ada lagi penghormatan akan hak atas privasi warga negara,” tegasnya.
Tanggapan Hakim
Hakim Konstitusi Patrialis Akbar menanggapi perluasan makna zina yang dipermasalahkan pihak terkait. Ia memandang zina atas dasar suka sama suka dan tidak dikenakan pidana justru banyak merugikan perempuan. “Justru eksploitasi perempuan atau kejahatan terhadap perempuan itu banyak sekali diakibatkan oleh perzinahan yang semula suka sama suka,” kata menegaskan.
Patrialis mengilustrasikan pola yang sering terjadi di masyarakat, yakni tindakan zina atas dasar suka sama suka diawali dengan rayuan pada perempuan. Tindakan tersebut berlanjut pada zina dan terkadang, jika pria tak bertanggung jawab, akan berakhir pada pembunuhan. Menurutnya, hal tersebut terjadi karena regulasi memungkinkannya.
Sementara, Hakim Konstitusi Aswanto menanggapi overkriminalisasi yang ditakutkan oleh ICJR. “Saya mau bertanya berapa berapa persen hubungan seksual yang dilakukan oleh anak di bawah umur atas dasar suka sama dan karena paksaan?” tanyanya.
Pihak ICJR diwakili Erasmus menjawab tidak memiliki data tersebut. Tetapi dirinya menawarkan untuk mengupayakan dan mencari data tersebut. Erasmus menyatakan pendapat itu muncul melaui proyeksi data KPAI yang menyebut sekitar 60 persen anak dibawah umur terlibat dalam seks bebas.
Sebelumnya, sejumlah warga negara dengan latar belakang berbeda mengajukan uji materiil KUHP lantaran merasa dirugikan hak konstitutionalnya untuk mendapatkan kepastian hukum dan perlindungan sebagai pribadi, keluarga, dan masyarakat atas berlakunya pasal yang mengatur mengenai perzinaan, perkosaan, dan pencabulan tersebut.
“Apalagi kita sadari KUHP disusun para ahli hukum Belanda yang hidup ratusan tahun lampau. Tentulah keadaan masyarakat pada saat penyusunannya sudah sangat jauh berbeda dengan masa kini,” jelas Evi Risna Yanti mewakili Pemohon.
Selain itu, Evi menegaskan KUHP disusun oleh mereka yang tak meyakini Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum. Oleh karena itu, menurutnya, dapat dipastikan tidak sepenuhnya ketentuan dalam KUHP sesuai dengan nilai-nilai Pancasila yang menjiwai setiap hukum positif di Indonesia. Evi menilai pasal-pasal terkait perzinahan tersebut tidak cukup jelas untuk melindungi hak konstitusional para Pemohon. (ars/lul)