Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Anwar Usman menjadi keynote speaker dalam Seminar Nasional di Fakultas Hukum (FH) Universitas Islam Sultan Agung, Semarang, Sabtu (27/8). Seminar nasional tersebut bertajuk “Politik Hukum Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah dan Implikasinya dalam Pembagian Kewenangan Antar Pemerintah Daerah dan Pemerintah Pusat”.
Mengawali paparannya, Anwar menyebut tema yang diusung dalam seminar merupakan tema yang menarik. Namun, sebelum membahas tema lebih mendalam, ia menegaskan tata kelola pembagian kewenangan antara pemerintah pusat dan daerah perlu lebih dahulu dipahami.
“Kita harus memahami secara komprehensif tentang tata kelola pembagian kewenangan antara pemerintah pusat dan daerah dari sejak dirumuskan UUD 1945 pertama kali, hingga perjalanannya sampai hari ini setelah dilakukan perubahan,” papar Anwar dihadapan Dekan FH Universitas Islam Sultan Agung Jawade Hafidz.
Penjelasan norma Pasal 18 UUD 1945 hasil rumusuan BPUPKL/PPKI menyebutkan Negara Indonesia merupakan negara eenheidsstaat (negara kesatuan, red), sehingga tidak boleh terdapat daerah yang bersifat staat. Anwar menjelaskan meskipun bentuk negara kesatuan telah menjadi pilihan perumus UUD, pengakuan terhadap daerah-daerah tertentu yang bersifat istimewa dan otonom juga diberikan. Hal tersebut dijelaskan norma Pasal 18 yang menyatakan:
“Pembagian daerah Indonesia atas daerah besar dan kecil, dengan bentuk susunan pemerintahannya, ditetapkan dengan undang-undang, dengan memandang dan mengingati dasar permusyawaratan dalam system pemerintahan engara, dan hak-hak asal-usul dalam daerah-daerah yang bersifat istimewa.”
Melihat ke belakang, hubungan pemerintah pusat dan daerah sejak diberlakukannya UUD 1945 kala itu pada praktiknya bersifat sentralisitik. Anwar menyebut kewenangan pemerintah pusat sangat besar dan kehidupan demokrasi tidak berkembang selama kurun waktu yang cukup lama sehingga pemerintah daerah tidak memiliki ruang untuk mengembangkan diri dan berkreasi dalam mengelola daerah. “Kepala daerah di masing-masing daerah tak mungkin berani mengambil tindakan pemerintahan tanpa izin atau petunjuk dari pemerintah pusat,” jelasnya.
Namun, lanjutnya, seiring dengan perjalanan waktu, era reformasi pada tahun 1998-1999 menuntut diberlakukannya otonomi daerah. Hal tersebut, menurut Anwar, merupakan kewajaran yang bersifat alamiah. Sebab, tanpa otonomi, daerah-daerah yang memiliki potensi sumber daya alam yang besar merasa tidak mendapatkan haknya. Akibatnya, pembangunan tidak merata.
“Hal tersebut disebabkan kewenangan pemerintah pusat yang begitu besar terhadap pemerintah daerah. Berangkat dari kenyataan itu, muncul kembali pemikiran untuk diterapkannya sistem federasi dalam rencana perubahan UUD 1945, agar daerah memiliki keleluasaan dalam mengelolah dan membangun daerahnya masing-masing. Namun, sebelum perubahan UUD 1945 dilakukan dalam kurun waktu 1999-2002, setidaknya terdapat kesepakatan dasar, yang salah satu diantaranya adalah tetap mempertahankan bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI),” tegas hakim konstitusi yang dipilih oleh Mahkamah Agung tersebut.
Tidak hanya itu, Anwar pun memaparkan perubahan peraturan hubungan tata kelola pemerintah pusat dan daerah. Setelah dilakukan perubahan UUD 1945, tepatnya dalam BAB VI, yakni Pasal 18 terdiri dari tiga pasal, Pasal 18, Pasal 18A dan Pasal 18B, Konstitusi memberikan otonomi seluas-luasnya kepada pemerintah daerah. Pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya, antar pemerintah pusat dan daerah dilaksanakan secara adil. Serta, penghormatan dan pengakuan terhadap masyarakat hukum adat, dan daerah yang bersifat khusus atau istimewa.
“Dengan perubahan yang cukup besar dalam hubungan tata kelola antara pemerintah pusat dan daerah tersebut, terdapat ruang yang cukup bagi pemerintah daerah dalam mengurus rumah tangganya sendiri. Mulai dari mengelola pemerintahan daerah yang begitu besar, hingga adanya Pemilihan Kepala Daerah secara langsung,” ungkap wakil ketua MK periode 2014-2017 tersebut.
Menceritakan pengalamannya selama di Mahkamah Konstitusi, Anwar merasa saat ini banyak sekali pemerintah daerah yang ingin melakukan pemekaran wilayah di berbagai daerah. Bermunculan pula keinginan yang besar dari daerah tingkat kabupaten dan kota agar dapat diberikan kemandirian yang seolah-olah tidak menjadi satu-kesatuan dalam wilayah suatu provinsi.
“Hal ini kami rasakan di MK, adanya berbagai pengujian undang-undang, khususnya tentang pemekaran dalam wilayah, maupun sengketa administrasi pemerintahan daerah menyangkut tata kelola pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota, termasuk dalam implementasi Undang-Undang Nomor 23 tahun 2014,” ungkapnya.
Mengakhiri sambutannya, Anwar berharap seminar nasional tersebut dapat menghasilkan rumusan dan pemikiran cemerlang yang dapat menyelaraskan sistem tata kelola pemerintahan yang baik dalam kerangka NKRI sebagaimana amanat UUD 1945. Ia berharap pemikiran yang dihasilkan dapat menciptakan suatu pemerintah daerah yang mampu mengelola potensi daerahnya masing-masing dalam ruh kebersamaan sebagai bangsa. “Dengan demikian, maka apa yang dicita-citakan para pendiri negara, akan terwujud,” tutupnya. (Hamdi/lul)