Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan tidak dapat menerima permohonan perkara Pengujian Undang-Undang (PUU) Pemerintahan Aceh yang dimohonkan oleh Mantan Bupati Sumeulue, Darmili. Dalam permohonannya, Pemohon dinilai tidak menguraikan kerugian konstitusional yang dialaminya akibat berlakunya Pasal 65 ayat (2) UU Pemerintahan Aceh. Hal tersebut disampaikan langsung oleh Ketua MK, Arief Hidayat yang memimpin jalannya sidang pengucapan putusan perkara No. 7/PUU-XIV/2016 di Ruang Sidang Pleno MK, Selasa (23/8).
Saat persidangan pendahuluan perkara a quo yang digelar 23 Februari 2016 lalu, Majelis Panel Hakim yang memeriksa perkara sudah memberikan nasihat agar Pemohon menguraikan hak-hak konstitusionalnya yang dirugikan akibat berlakunya Pasal 65 ayat (2) UU Pemerintahan Aceh. Namun, saat sidang kedua yang beragendakan pemeriksaan perbaikan permohonan, Pemohon sama sekali tidak mencantumkan uraian mengenai kerugian konstitusional yang jelas dan dapat meyakinkan Mahkamah. Pemohon justru menguraikan bahwa Pasal 23 ayat (1) dan Pasal 43 ayat (1) UU HAM merupakan ketentuan yang mengatur hak konstitusional Pemohon.
Mahkamah menekankan bahwa seharusnya Pemohon menguraikan hak konstitusionalnya yang tercantum dalam UUD 1945. Setelah itu, hak konstitusional tersebut diuraikan mengapa sampai dirugikan dengan berlakunya Pasal 65 ayat (2) UU Pemerintahan Daerah yang digugat Pemohon.
“Dalam Permohonan a quo seharusnya Pemohon dapat menguraikan lebih jelas perihal apa saja yang menjadikan hak-hak konstitusional Pemohon yang diatur dalam UUD 1945 tersebut telah dilanggar oleh ketentuan Pasal 65 ayat (2) UU 11 Tahun 2006. Meskipun terdapat UU HAM yang mengatur dan melindungi hak asasi manusia, namun norma yang mengatur tentang hak-hak konstitusional warga negara Indonesia adalah yang sebagaimana telah tercantum dalam UUD 1945 yang seharusnya hal tersebut dielaborasi secara komprehensif oleh Pemohon dalam Permohonan a quo,” ujar Hakim Konstitusi Maria Farida Indrati mengucapkan penggalan pertimbangan hukum Mahkamah.
Oleh karena itu, Mahkamah menyimpulkan bahwa Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum. Hal tersebut mengandung konsekuensi bahwa permohonan Pemohon tidak dapat diterima.
Sudah Diputus
Selain mempertimbangkan kedudukan hukum Pemohon, Mahkamah juga menyatakan bahwa pokok permohonan Pemohon sesungguhnya sudah pernah diputus lewat Putusan Nomor 8/PUU-VI/2008 bertanggal 6 Mei 2008. Dalam putusan tersebut, Mahkamah telah menyatakan pendiriannya bahwa jabatan kepala daerah hanya dibatasi sampai dengan dua periode saja, baik di daerah yang sama maupun di daerah yang berbeda. Dengan demikian, ketentuan Pasal 65 ayat (2) UU Pemerintahan Aceh yang mengatur bahwa gubernur/wakil Gubernur, bupati/wakil bupati, dan walikota/wakil walikota hanya dapat dipilih kembali untuk satu kali masa jabatan tidak bertentangan dengan Konstitusi.
Sebelumnya, Pemohon yang hendak menjabat kembali sebagai orang nomor satu di Kabupaten Simeleu merasa niatnya dijegal oleh ketentuan Pasal 65 ayat (2) UU Pemerintahan Aceh. Pemohon berargumen, seharusnya sebagai daerah istimewa seperti Provinsi Yogyakarta, jabatan bupati di Provinsi Aceh dapat diduduki lebih dari dua kali. Untuk meyakinkan, Pemohon mengatakan rakyat Aceh sudah siap untuk menerima sistem yang sama dengan Yogyakarta. Pemohon yakin meski incumbent terus bertakhta tidak akan menimbulkan terjadinya korupsi, kolusi, dan nepotisme. (Yusti Nurul Agustin/lul)