Sidang uji materi Undang-Undang No. 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana atau Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) digelar Mahkamah Konstitusi (MK), Selasa (23/8) dengan agenda mendengarkan keterangan tiga ahli Pemohon.
Asrorun Niam Sholeh, Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menjelaskan presiden sebagai kepala negara telah menetapkan kejahatan seksual, khususnya kepada anak, sebagai kejahatan yang luar biasa. Oleh karena itu, harus ada langkah-langkah luar biasa dalam mencegah dan menanganinya.
“Mengapa luar biasa? Yang pertama, bentuk kekerasan yang sangat beragam, mulai dari kekerasan fisik, psikis, verbal, seksual termasuk di dalamnya adalah dunia maya. Jumlahnya cenderung meningkat berdasarkan data pelaku mulai dari pelaku korban, jenis usia, dan juga jenis kelaminnya. Profil pelaku juga beragam, orangtua, guru, tokoh agama, kakak kelas, pembantu, dan lain sebagainya. Lokusnya pun juga beragam, termasuk di dalamnya adalah jenis kelamin yang sesama,” papar Asrorun sebagai ahli yang pertama menyampaikan pendapatnya.
Asrorun menerangkan, tren kasus anak sepanjang 2011-2015 cenderung meningkat. Tercatat kasus pelanggaran hak anak menduduki peringkat pertama sepanjang 2011-2015. Secara khusus, kasus kekerasan berbasis seksual menempati urutan yang pertama.
“Langkah pencegahan sudah dilakukan. Presiden telah menerbitkan Inpres tentang Gerakan Nasional Anti Kejahatan Seksual terhadap Anak. 20 Oktober 2014. Ada komitmen negara melalui DPR dan presiden sebagai penyusun undang-undang terkait dengan perubahan, perumusan dan penerbitan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Tahun 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang intinya adalah penegasan soal mekanisme pencegahan sedari hulu dan juga pemberatan hukuman terhadap pelaku,” urai Asrorun.
Sementara, Atip Latipulhayat, dosen Fakultas Hukum (FH) Universitas Padjadjaran Bandung memaparkan hak asasi manusia yang senantiasa melekat pada manusia. “Hak asasi manusia tidak pernah terpisahkan dari manusia, kecuali dengan perbuatan manusia yang telah kehilangan jati diri kemanusiaannya,” ujar Atip.
Dikatakan Atip, lahirnya hak asasi manusia modern, antara lain ditandai dengan terbentuknya instrumen-instrumen hukum internasional mengenai hak asasi manusia, khususnya pasca Perang Dunia Kedua. Utamanya disebabkan imperalisme dan kolonialisme yang substansinya tidak lain adalah dehumanisasi. Imperialisme dan kolonialisme, menurutnya, telah mengubur hak asasi manusia.
“Dalam konteks ini hak asasi manusia harus dipahami sebagai proses dan upaya untuk memanusiakan manusia. Hak asasi manusia modern adalah menemukan kembali manusia dan kemanusiaannya, dengan demikian Hak asasi itu ada dan tertanam di setiap kehidupan manusia dari berbagai bangsa,” tegas Atip.
Terakhir, Pakar Hukum Tata Negara Universitas Indonesia Hamid Chalid menanggapi Pasal 285 KUHP yang hanya melarang perkosaan kepada wanita. Padahal, menurutnya, perkosaan terhadap laki-laki, baik dewasa maupun anak-anak, pun sangat mungkin terjadi.
“Maka secara a contrario perkosaan terhadap laki-laki tidak peduli dilakukan oleh laki-laki juga atau oleh perempuan, atau dikeroyok ramai-ramai adalah legal. Kemudian Pasal 292 melarang tindakan cabul sesama jenis antara orang dewasa kepada anak-anak. Maka penafsiran a contrario-nya perbuatan cabul sesama jenis antar orang dewasa legal. Perbuatan cabul sesama jenis antar anak-anak juga legal. Artinya perbuatan yang boleh dilakukan,” tegas Hamid.
Artinya, imbuh Hamid, undang-undang secara diam-diam telah melegalkan zina di luar pernikahan, perkosaan kepada laki-laki, dan juga percabulan sesama jenis antara orang dewasa maupun antara anak-anak. “Artinya undang-undang kita telah demikian liberal sebetulnya dan kita biarkan selama ini. Apakah itu yang sesungguhnya kita kehendaki?” kata Hamid mempertanyakan.
Permohonan yang teregistrasi sebagai perkara No. 46/PUU-XIV/2016 tersebut diajukan oleh sejumlah warga negara dengan beragam latar belakang. Para Pemohon merasa dirugikan hak konstitutionalnya untuk mendapatkan kepastian hukum dan perlindungan sebagai pribadi, keluarga dan masyarakat atas berlakunya Pasal 284 ayat (1) ayat (2) ayat (3) ayat (4) dan ayat (5), Pasal 285 dan Pasal 292 KUHP. (Nano Tresna Arfana/lul)