Mahkamah Konstitusi (MK) akhirnya menolak seluruh permohonan uji materi Undang-Undang No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia. Perkara teregistrasi Nomor 75/PUU-XIII/2015 tersebut diajukan oleh Keluarga Korban Kerusuhan Mei 1998, Paian Siahaan dan Yati Ruyati.
“Amar putusan menyatakan, menolak permohonan Pemohon untuk seluruhnya,” demikian disampaikan Ketua MK Arief Hidayat didampingi para hakim konstitusi lainnya dalam sidang pengucapan putusan, Selasa (23/8) di ruang sidang pleno MK.
Pemohon mendalilkan Pasal 20 ayat (3) dan Penjelasan Pasal 20 ayat (3) UU No. 26/2000 telah menyebabkan Pemohon tidak dapat menikmati haknya untuk bebas dan mendapatkan perlindungan dari perlakuan diskriminatif. Mahkamah berpendapat tidak terdapat persoalan diskriminasi baik dalam rumusan norma Pasal 20 ayat (3) maupun Penjelasan Pasal 20 ayat (3) UU No. 26/2000.
Berdasarkan Pasal 1 angka 3 UU No. 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia, diskriminasi adalah setiap pembatasan, pelecehan, atau pengucilan yang langsung ataupun tak langsung didasarkan pada pembedaan manusia atas dasar agama, suku, ras, etnik, kelompok, golongan, status sosial, status ekonomi, jenis kelamin, bahasa, keyakinan politik, yang berakibat pengurangan, penyimpangan atau penghapusan pengakuan, pelaksanaan atau penggunaan hak asasi manusia dan kebebasan dasar dalam kehidupan baik individual maupun kolektif dalam bidang politik, ekonomi, hukum, sosial, budaya, dan aspek kehidupan lainnya.
Pernyataan tersebut sejalan dengan Pasal 2 ayat (1) International Covenant on Civil and Political Rights yang menegaskan kesepakatan setiap negara untuk menghormati dan menjamin hak asasi setiap orang tanpa pembedaan apa pun, seperti ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, pandangan politik atau pandangan lainnya, asal-usul kebangsaan maupun sosial, kekayaan, status kelahiran maupun status lainnya. “Menurut Mahkamah, Pasal 20 ayat (3) maupun Penjelasan Pasal 20 ayat (3) UU NoMOR 26/2000 sama sekali tidak memuat materi semacam itu,” ujar Hakim Konstitusi I Dewa Gede Palguna membacakan pertimbangan hukum.
Terkait permohonan Pemohon yang meminta Mahkamah memberikan penafsiran tersendiri terhadap ketentuan a quo, menurut Mahkamah tidak relevan lagi untuk dipertimbangkan. Sebab, penyebab ketidakpastian sebagaimana dialami para Pemohon bukanlah bersumber pada inkonstitusionalnya Pasal 20 ayat (3) maupun Penjelasan Pasal 20 ayat (3) UU No. 26/2000.
Terlepas dari itu, Mahkamah menyarankan pembentuk undang-undang untuk melengkapi ketentuan dalam Pasal 20 UU No. 26/2000 guna memberi jalan keluar terhadap tiga persoalan penting: Pertama, penyelesaian dalam hal terjadi perbedaan pendapat yang berlarut-larut antara Penyelidik (Komnas HAM) dan Penyidik (Jaksa Agung) mengenai dugaan adanya pelanggaran hak asasi manusia yang berat, khususnya kelengkapan hasil penyelidikan; Kedua, penyelesaian atau jalan keluar apabila tenggang waktu 30 hari sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (3) UU No. 26/2000 terlampaui dan Penyelidik (Komnas HAM) tidak mampu melengkapi kekurangan hasil penyelidikannya; Ketiga, langkah-langkah hukum yang dapat ditempuh oleh warga negara yang merasa dirugikan. Dengan adanya ketegasan pengaturan yang demikian maka pada masa yang akan datang tidak ada warga negara yang mengalami ketidakpastian hukum sebagaimana yang dialami Pemohon.
Selain itu bercermin pada keadaan sebagaimana dialami Pemohon dalam permohonan a quo, sesungguhnya hal itu sudah tidak berada di wilayah yuridis melainkan pada kemauan politik untuk menyelesaikan persoalan-persoalan pelanggaran hak asasi manusia yang berat. “Oleh karena itu sesuai dengan semangat UUD 1945, menurut Mahkamah, maka seharusnya semua pihak mengutamakan bekerjanya supremasi hukum di atas pertimbangan lainnya, sesuai dengan amanat Pasal 1 ayat (3) UUD 1945,” imbuh Palguna.
Pada sidang pendahuluan, Pemohon mendalilkan ketentuan Pasal 20 ayat (3) UU No. 26/2000 sepanjang frasa “kurang lengkap” bersifat multitafsir, yakni pengembalian berkas dapat dikarenakan syarat materiil maupun syarat formil. Multitafsir tersebut berujung pada perbedaan tafsir antara Jaksa Agung dan Komnas HAM.
Sejak tahun 2002 Komnas HAM sudah menyerahkan 7 berkas perkara penyelidikan kepada Jaksa Agung untuk ditindaklanjuti ke tahap penyidikan, namun hingga saat ini Jaksa Agung belum menindaklanjuti perkara pelanggaran HAM tersebut dengan alasan bahwa berkas penyelidikan Komnas HAM tersebut belum cukup dengan mendasarkan pada Pasal 20 ayat (3) Undang-Undang a quo.
Sedangkan Jaksa Agung menafsirkan frasa “kurang lengkap” pada Pasal 20 ayat (3) Undang-Undang a quo mencakup syarat materil dan syarat formil, mulai dari belum cukup bukti memenuhi unsur pelanggaran HAM yang berat hingga belum terbentuknya Pengadilan HAM Ad Hoc. Sementara, Komnas HAM terus menyerahkan kembali hasil penyelidikan mereka kepada Jaksa Agung karena merasa tugas mereka sebagai penyelidik telah selesai, yakni menentukan ada atau tidaknya suatu peristiwa yang diduga merupakan pelanggaran HAM berat. (Nano Tresna Arfana/lul)