Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang lanjutan uji materiil Undang Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Mahkamah Konstitusi (UU MK) dan Undang Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Mahkamah Agung (UU MA), Senin (22/8) di ruang sidang pleno MK. Agenda sidang perkara Nomor 53/PUU-XIV/2016 tersebut adalah mendengar keterangan Presiden, DPR, dan Pihak Terkait.
Dalam persidangan yang dipimpin Ketua MK Arief Hidayat, para Pemohon, yaitu Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Binsar M. Gultom dan Hakim Tinggi Pengadilan Tinggi Medan Lilik Mulyadi, hadir langsung untuk mendengar keterangan pemerintah untuk menjawab permohonan tersebut.
Mewakili Pemerintah, Direktur Litigasi Peraturan Perundang-undangan Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) Yunan Hilmi menjelaskan Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan perkara tersebut. Sebab, menurut Pemerintah, tak ada hubungan sebab-akibat antara kerugian para Pemohon, yakni kegagalan menjadi calon hakim agung, dengan pasal-pasal dalam UU MA yang diuji.
“Menyalahkan persyaratan menjadi hakim agung dari latar belakang nonkarier adalah tidak relevan dan tidak berdasar. Sebab, gagal atau berhasilnya Pemohon menjadi calon hakim agung dan selanjutnya menjadi hakim agung semata-mata ditentukan oleh usaha, integritas, serta kecerdasan Pemohon sendiri,” papar Yunan.
Terkait UU MK, para Pemohon mendalilkan dibatasinya masa jabatan ketua dan wakil ketua MK selama dua tahun enam bulan dan masa hakim MK selama lima tahun berpotensi merugikan hak konstitusionalnya. Selain itu, Pemohon menilai secara politis dan yuridis ketentuan tersebut berpotensi merusak sistem kaderisasi hakim konstitusi yang profesional. Dalil-dalil tersebut, menurut Pemerintah, tidak beralasan. Sebab tidak memperlihatkan adanya kerugian yang spesifik dan aktual dari para Pemohon.
“Berdasarkan alasan-alasan di atas, Pemerintah memohon kepada Yang Mulia Ketua, Anggota Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi untuk memberikan putusan menolak permohonan Para Pemohon untuk seluruhnya, namun apabila Yang Mulia Ketua, Anggota Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi berpendapat lain, mohon kiranya memberikan putusan yang bijaksana dan seadil-adilnya,” jelasnya.
Sebelumnya, Pemohon memohonkan uji materi Pasal 6B ayat (2) UU MA yang membolehkan calon hakim agung dari jalur non karier. Menurutnya, ketentuan tersebut tidak tepat karena hal yang menjadi tolak ukur dalam persyaratan profesi hakim bukan semata pendidikan akademisnya, tetapi juga pengalaman dan kompetensi hakim dalam mengadili serta memutus perkara di persidangan.
Selain itu, Pemohon beranggapan bahwa ketentuan Pasal 7 huruf a angka 4 dan angka 6 UU MA yang mengatur syarat hakim karier menjadi hakim agung dari segi usia dan pengalaman bersifat diskriminatif jika dibandingkan dengan syarat untuk hakim non karier. Pada ketentuan hakim karier, usia minimum hakim adalah 45 tahun dengan pengalaman menjadi hakim selama 20 tahun, termasuk pengalaman menjadi hakim tinggi minimal 3 tahun. Sementara, syarat hakim non karier pada Pasal 7 huruf b UU MA hanya menyatakan berpengalaman di bidang hukum selama 20 tahun tanpa dirinci secara tegas keahlian hukum di bidang hukum tertentu.
Selanjutnya, menurut Pemohon, ketentuan Pasal 7 huruf b angka 1, angka 2, angka 3 dan angka 4 UU MA telah merugikan hak-hak konstitusional Pemohon dan berpotensi menutup karier para hakim dari jalur karier yang puncak kariernya menjadi hakim agung. Selain itu, Pemohon juga menguji materi ketentuan periodisasi hakim konstitusi yang tertuang dalam UU MK. Pemohon menerangkan bahwa pembatasan masa jabatan bagi Ketua dan Wakil Ketua MK yang hanya 2 tahun 6 bulan, sebagaimana tercantum dalam Pasal 4 ayat (3) UU MK, bertentangan dengan UUD 1945 karena akan menghambat karier bagi hakim konstitusi yang berasal dari unsur Mahkamah Agung.
Berikutnya, Pemohon mempersoalkan ketentuan Pasal 22 UU MK mengenai pembatasan masa jabatan hakim konstitusi yang dinilai merugikan. Seharusnya, menurut Pemohon, sebagaimana hakim agung, tidak ada periodisasi jabatan bagi hakim konstitusi.
(ars/lul)