Basuki Tjahaja Purnama, Gubernur DKI Jakarta menggugat ketentuan cuti pada masa kampanye yang termaktub dalam Undang-Undang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota. Ahok, panggilan akrab Basuki, menganggap ketentuan dalam Pasal 70 ayat 3 UU Pilkada kerap ditafsirkan sebagai bentuk kewajiban bagi petahana. Padahal, Ahok yang berencana kembali mencalonkan diri dalam Pilkada DKI Jakarta 2017 mendatang beranggapan cuti selama masa kampanye harusnya bersifat opsional sebagai hak petahana.
Pasal 70 ayat (3) UU Pilkada mengatur bahwa gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, walikota dan wakil walikota yang mencalonkan kembali pada daerah yang sama, selama masa kampanye harus memenuhi dua ketentuan. Dua ketentuan dimaksud, yaitu menjalani cuti di luar tanggungan negara dan dilarang menggunakan fasilitas yang terkait dengan jabatannya.
Bunyi pasal tersebut menurut Ahok kerap ditafsirkan sebagai kewajiban. Artinya, saat masa kampanye, petahana seperti Ahok harus mengambil cuti. Padahal, Ahok berkeinginan sebagai pejabat publik untuk tetap menjalankan tanggung jawabnya kepada masyarakat demi memastikan berbagi program pemerintah daerah terlaksana dengan semestinya.
“Saya meminta tafsiran, saya setuju bahwa kalau orang mau kampanye itu wajib cuti. Namun saya hanya ingin meminta tambahan apakah boleh ditafsirkan cuti merupakan hak setiap orang. Kalau saya tidak mengambil hak cuti saya, saya juga akan menerima konsekuensi tidak melakukan kampanye. Karena saya diangkat secara konstitusi untuk 60 bulan,” jelas Ahok di hadapan Majelis Hakim yang dipimpin Wakil Ketua MK Anwar Usman didampingi Hakim Konstitusi I Dewa Gede Palguna dan Aswanto, Senin (22/8/2016) di Ruang Sidang Pleno MK.
Selain itu, Ahok menilai penafsiran yang mewajibkan cuti tersebut tidak wajar. Sebabnya, Ahok menilai cuti pada hakikatnya merupakan hak sebagaimana tercermin pada hak PNS yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara.
“Kita ambil perbandingan PNS saja berhak memperoleh cuti, kalau seorang PNS 45 hari kerja tidak masuk langsung bisa diberhentikan dengan tanpa hormat. Pada hakikatnya cuti merupakan pilihan atau hak dari yang bersangkutan dan tidaklah wajib diambil merujuk kepada pasal yang sama karena dipilih secara demokratis,” urai Ahok sembari memaparkan kondisi di Pemda DKI yang dipimpinnya.
Ahok khawatir bila saat masa kampanye ia diwajibkan cuti, kondisi tidak memungkinkan bagi Ahok untuk “lepas tangan” dari berbagai persoalan di Pemda DKI. Bagi Ahok dengan kemungkinan semacam itu, seharusnya cuti kampanye dijadikan sebagai opsi atau pilihan bukan keharusan.
Saran Hakim
Usai mendengarkan permohonan tersebut, Palguna memberi saran agar Pemohon mempertajam permohonannya. Terutama dengan memperjelas kerugian konstitusional yang dialami Pemohon akibat berlakunya ketentuan a quo.
“Pengertian hak konstitusional sudah diberikan di dalam Pasal 51 adalah hak yang diatur dalam Undang-Undang Dasar Tahun 1945. Tapi Bapak di sini menyebutkan memang bahwa hak konstitusional yang dirugikan itu adalah khususnya di sini hak atas pengakuan jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil, serta perlakuan yang sama di hadapan hukum. Itu yang dianggap dirugikan. Persoalannya adalah Bapak tidak menguraikan lebih jauh tentang mengapa itu dirugikan? Dari sisi mana ketentuan itu dianggap merugikan? Nah, ini yang mesti jelas dulu,” saran Palguna.
Sebelum menutup sidang, Wakil Ketua MK Anwar Usman yang memimpin jalannya persidangan mengingatkan agar Pemohon menyerahkan perbaikan permohonan paling lambat 14 hari kerja ke kepaniteraan MK. (Yusti Nurul Agustin/lul)